tirto.id - Hati Sawerigading sedang berbunga-bunga. Tak lama lagi, ia akan menjadi suami seorang ratu. Ngilinayo, nama calon pengantin perempuan itu, adalah pemimpin kawasan Sigi, salah satu kerajaan di Sulawesi Tengah yang berdekatan dengan Palu dan Donggala.
Sawerigading bukan orang biasa. Sebagian orang Bugis meyakini, ia adalah pangeran dari salah satu kerajaan besar di Sulawesi Selatan. Nama Sawerigading sangat kesohor sebagai seorang petualang gagah-berani, pelaut ulung yang kerap memimpin armada besar mengarungi samudera.
Namun, pernikahan antara Sawerigading dan Ratu Ngilinayo itu nantinya tidak pernah benar-benar terlaksana. Rencana pesta bubar lantaran Sigi digoyang gempa—bencana yang kelak justru menghadirkan peradaban yang lebih besar di Lembah Palu.
Antara Mitos dan Kepercayaan
Sawerigading barangkali hanya dianggap mitos yang muncul sebagai tokoh utama dalam epik lokal Bugis, La Galigo. Jennifer W. Nourse dalam Sawerigading di Tanah Asing: Mitos I La Galigo di Sulawesi Tengah (2005) menyebut Sawerigading sebagai Odysseus-nya orang Bugis (hlm. 255).
La Galigo diyakini merupakan salah satu karya sastra terpanjang yang pernah ada. Ahli sastra dan bahasa Bugis, R.A. Kern, dikutip Sirtjo Koolhof dalam La Galigo Menurut Naskah NBG 188: Jilid 1 (2017), memperkirakan jumlah halaman La Galigo mencapai 6.000 lembar kertas berukuran folio.
Dengan kata lain, La Galigo yang ditulis dalam bentuk sajak berbahasa dan beraksara Bugis kuno kemungkinan besar merupakan epos tertulis paling panjang dalam sejarah sastra dunia, melebihi Mahabharata.
La Galigo menceritakan asal-usul manusia, juga digunakan sebagai almanak praktis sehari-hari bagi orang Bugis terdahulu. Sawerigading memperoleh porsi yang cukup besar dalam epik ini. La Galigo sendiri adalah nama putra Sawerigading.
Pada dasarnya, tulis Abdul Madjid Kallo dan kawan-kawan dalam Sejarah Kebudayaan Sulawesi (1995), La Galigo memuat berbagai hal yang bersifat mitos (hlm. 65). Namun, di balik mitos tersebut terdapat hal-hal yang nyata dan merupakan gambaran inti budaya masyarakat di Sulawesi.
Maka, bisa dimengerti jika ada yang menganggap La Galigo dan Sawerigading adalah bagian dari sejarah yang benar-benar pernah ada. Anggapan ini, dikutip dari Ritumpanna Wélenrénngé (1999) karya Fachruddin Ambo Enre, didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam sejumlah kronik tentang raja-raja di Sulawesi Selatan (hlm. 24). Sebagian orang Sulawesi mempercayai Sawerigading sebagai leluhur mereka.
Meskipun demikian, kapan Sawerigading dilahirkan memang belum diketahui pasti atau dibuktikan secara ilmiah. Terdapat beberapa versi terkait hal ini. Sejumlah kalangan adat di Sulawesi meyakini Sawerigading lahir pada abad ke-6 dan hidup dalam era yang sama dengan Nabi Muhammad.
Sawerigading dan Gempa Sigi
Legenda Sawerigading tidak hanya terdapat di Sulawesi Selatan, namun juga mencakup hampir seluruh wilayah Celebes, termasuk Sulawesi Tengah. Sawerigading diceritakan kerap mewakili kerajaannya—ada yang menyebut Kerajaan Luwu—berlayar ke berbagai tempat, dari Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Jawa, Malaka, bahkan hingga ke Cina.
Fragmen di Sigi juga merupakan bagian dari petualangan itu. Sampai pada akhirnya, Sawerigading jatuh cinta kepada Ratu Ngilinayo yang berparas amat cantik, seperti ditulis Mattulada dalam Sawerigading: Folktale Sulawesi (1990: 511). Dikisahkan, armada Sawerigading singgah di Sigi dalam perjalanan pulang dari Cina.
Singkat cerita, Sawerigading beserta para pengiringnya datang ke Istana Sigi untuk meminang sang ratu. Maksud tersebut dimulai dengan pembicaraan serius antara kedua pihak sebelum menyepakati segala sesuatunya hingga kedua mempelai saling mengucap janji setia.
Pihak Sigi mengajukan syarat. Dikutip dari tulisan Erli Yeti dengan judul “Legenda Danau Lindu Sulawesi: Struktur Naratif” dalam jurnal Kandai (2016), salah satu versi kisah ini menyebutkan bahwa Ratu Ngilinayo menantang Sawerigading beradu ayam. Jika ayam Sawerigading menang, maka lamarannya diterima (hlm. 288).
Belum sempat ajang adu ayam digelar, tiba-tiba bumi bergetar hebat. Bangunan istana berguncang-guncang dan mulai runtuh. Pertemuan itu sontak kacau tanpa komando. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Rencana bubar sebelum pesta diselenggarakan.
Lantas, apakah Sawerigading dan Ratu Ngilinayo jadi menikah? Ternyata tidak. Mereka sepakat menjalin hubungan saudara. Relasi antara kerajaan asal Sawerigading dan Kerajaan Sigi pun semakin akrab. Sawerigading nantinya mengawini perempuan lain dan dikaruniai putra bernama La Galigo.
Dikisahkan Jamrin Abubakar dalam Tadulako dari Sulawesi Tengah (2013), gempa yang terjadi jelang pernikahan Sawerigading dan Ratu Ngilinayo itu memporakporandakan negeri Sigi dan sekitarnya. Kapal-kapal Sawerigading hancur diterpa banjir bandang dan menimbulkan tanah longsor yang menimbun teluk.
Lama-kelamaan, teluk itu berubah menjadi daratan dan dihuni manusia secara turun-temurun hingga kini. Inilah asal-muasal Lembah Palu yang beberapa hari lalu diterpa gempa bumi dan tsunami. Terkait kisah ini, Masyhuddin Masyhuda mengulasnya dalam buku Sawerigading dengan Raja Sigi Ngilinayo dalam Hubungan dengan Terjadinya Lembah Palu (1987).
Sulawesi Tengah, khususnya kawasan Lembah Palu termasuk Sigi dan Donggala, memang termasuk daerah rawan gempa, tentunya dengan alasan-alasan yang masuk akal dan geologis. Berguncangnya bumi dalam kisah Sawerigading dan Ratu Ngilinayo—terlepas dari kuatnya unsur mitos—menjadi gambaran bahwa fenomena alam ini memang sudah pernah melanda Palu dan sekitarnya sejak zaman dahulu.
Editor: Ivan Aulia Ahsan