tirto.id - Mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama mengusulkan agar pemerintah Indonesia memperketat pengawasan bagi pendatang dari China.
Hal ini menanggapi adanya ledakan kasus COVID-19 yang diperkirakan mencapai 250 juta kasus varian Omicron BF.7 akibat pelonggaran kebijakan di negara tersebut.
“Meningkatkan pengawasan bagi pendatang dari Cina, termasuk kemungkinan kejadian penularan dan juga sampai ke analisa whole genome sequencing (WGS),” kata Tjandra kepada Tirto, Rabu (28/12/2022).
Selain itu, Tjandra menyarankan agar pemerintah lewat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia melakukan analisa mendalam serta merinci. Hal ini bertujuan agar dapat menjelaskan apa yang terjadi di China, khususnya terkait efikasi proteksi vaksin, serta bentuk dan dampak kebijakan pelonggaran terhadap kenaikan kasus.
Lanjut Tjandra, usulan lainnya adalah pemerintah Indonesia melakukan pertukaran informasi secara diplomasi kesehatan internasional, baik bilateral dengan China, atau menggunakan kerangka Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)-China. Karena Indonesia saat ini memegang keketuaan ASEAN.
“Atau barangkali melalui pendekatan sebagai sesama anggota G20, apalagi Indonesia baru selesai sebagai Presidensi G20, dan tentunya juga lewat WHO. Ketiganya di atas adalah harapan ke pemerintah atau Kemenkes,” ujar Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian Penyakit (P2P) dan Mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes tersebut.
Kemudian Tjandra mengatakan bahwa belum terlalu jelas tentang jumlah kasus COVID-19 dan kematian di China, di mana berita di media ada yang berbeda dengan keterangan resmi pemerintah. Belakangan ini bahkan dikabarkan perkembangan (update) resmi harian akan dibatasi, sehingga informasi menjadi makin sulit terkonfimasi.
“Dirjen WHO Tedros juga menyatakan masih butuh informasi lebih rinci tentang situasi yang terjadi [di China],” tutur Tjandra.
Tjandra memandang bahwa jika ada peningkatan kasus COVID-19 dan kematian di Cina, sementara cakupan vaksinasi sebesar 89 persen, maka terdapat dua kemungkinannya. Efikasi vaksin mungkin sudah menurun dan kemungkinan lainnya adalah ada varian atau sub varian baru yang dapat menghindar dari proteksi vaksin.
“Agak tidak terlalu jelas juga kalau dihubungkan dengan pelonggaran kebijakan, karena waktunya relatif dekat sekali dengan berita kenaikan kasus. Dengan Omicron yang ada sekarang, maka banyak negara di dunia yang juga longgar kebijakannya dan mungkin juga tidak tinggi-tinggi amat data kekebalan alamiah penduduknya, tetapi tidak mengalami kenaikan ICU (intensive care unit) dan kematian seperti yang diberitakan di Cina,” kata Tjandra.
Lebih lanjut Tjandra, kalau menjadi banyak yang tertular COVID-19 akibat kebijakan pelonggaran di Cina, maka itu dapat diterima. Karena walaupun cakupan vaksinasi tinggi, maka penularan dapat tetap terjadi, apalagi kebijakan tadinya mungkin amat ketat dengan nol kematian (zero death) dan sekarang menjadi longgar.
Tjandra pun mengimbau kepada masyarakat Indonesia khususnya yang baru kembali dari China, untuk berhati-hati. Jika ada keluhan walaupun ringan, maka segera memeriksakan diri, dan jika ada lanjut usia (lansia) di rumah maka yang baru kembali dari negeri tirai bambu tersebut untuk melakukan tes polymerase chain reaction (PCR).
“[Bagi] masyarakat umum yang tidak datang dari China, lengkapi vaksinasi sampai booster (dosis ketiga vaksinasi COVID-19) dan ikuti perkembangan berita tentang COVID-19 di China dari sumber yang resmi dan terpercaya,” imbuh Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) sekaligus Direktur Pasca Sarjana Universitas Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia (YARSI) itu.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri