tirto.id - Perppu Ormas yang telah diterbitkan Pemerintah menimbulkan reaksi pro dan kontra. Salah satunya yang menolak diterbitkannya perppu ini yakni Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers).
Diterbitkannya Perppu No.2 Tahun 2017 tentang ormas, menurut Nawawi Bahrudin dari LBH Pers, sebagai langkah mundur demokrasi di Indonesia khususnya pada kebebasan berkumpul, berorganisasi dan berekspresi.
“Jaminan terhadap hak-hak sipil-politik tersebut sudah dijamin oleh Konstitusi UUD 1945 Pasal 28 E bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” ujar Nawawi.
Menurut Asep Komarudin dari LBH Pers, latar belakang terbitnya Perppu ormas ini memang karena fenomena merebaknya ormas yang mempromosikan intoleransi, radikalisme bahkan terorisme.
“Negara memang tidak boleh diam dan kalah terhadap kelompok-kelompok intoleran bahkan sebuah kewajiban bagi negara tersebut untuk menjamin kebebasan hak asasi masyarakat lainnya,” jelas Asep.
Namun sebaliknya, dikatakan Asep, pemerintah harus hati-hati dan tidak reaktif karena pemerintah harus tetap pada koridor politik negara yang demokratik dan menghormati standar-standar hak asasi manusia. “Hal ini sangat penting karena kewenangan yang berlebih akan membawa kita kembali pada sisi kelam demokrasi,” jelasnya.
Menurut Asep, beberapa ketentuan baru dalam Perppu yang berpotensi mengancam demokrasi dan HAM adalah Pasal 82A yang mengatur tentang ancaman sanksi pidana kepada siapapun yang menjadi pengurus atau anggota ormas baik langsung maupun yang tidak langsung yang melakukan tindakan permusuhan berbasis SARA serta penistaan terhadap satu agama yang diatur di Indonesia, dengan ancaman sanksi seumur hidup.
Selain itu juga, Perppu ini menghapuskan langkah-langkah persuasif dalam penanganan ormas yang dianggap melakukan pelanggaran.
Dalam penanganan ormas-ormas yang dianggap melanggar, sebenarnya UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013 sudah sedikitnya lebih baik ketimbang Perppu saat ini. Pasalnya, diaktakannya, di dalam undang-undang tersebut pemerintah harus melakukan upaya persuasif dan kemudian melalui pengadilan jika pemerintah memandang perlu membubarkan ormas tersebut.
Namun, di dalam Perppu tersebut memberikan Pemerintah “jalan tol” untuk membubarkan sebuah ormas yang dianggap Pemerintah sebagai ancaman negara.
Beberapa pasal yang dihapuskan oleh Perppu Ormas yakni pasal 63 hingga 80 UU Ormas adalah pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi penghentian sementara kegiatan ormas yang wajib meminta pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 65 UU Ormas).
Selain itu, pasal lain yang dihapuskan yakni permohonan pembubaran ormas dilakukan dengan permohonan yang diajukan jaksa ke Pengadilan Negeri di wilayah kedudukan orang yang dianggap melanggar (Pasal 70 UU Ormas) dan Perppu ini juga menghapus semua mekanisme uji oleh lembaga peradilan dan menghapus semua kewenangan lembaga peradilan demi kepentingan pembubaran sebuah ormas.
Hal ini, menurut LBH Pers, sangat berbahaya karena kewenangan yang begitu besar diberikan kepada Pemerintah untuk melakukan pembubaran ormas dan sangat berpotensi menyasar kepada kelompok-kelompok kritis yang mengkritik Pemerintah (Penjelasan Pasal 59 ayat 3).
Atas dasar tersebut, LBH Pers mendesak DPR untuk menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 karena tidak ada alasan “kegentingan memaksa”.
Karena pada dasarnya penerbitan Perppu diterbitkan dalam situasi kondisi yang genting dan jika tidak diterbitkan akan mengganggu kepentingan nasional. “Sedangkan kondisi saat ini di luar situasi dan kondisi tersebut. Bahkan dengan dikeluarkannya Perpu ini akan sangat berpotensi mengganggu dan mengancam demokrasi dan hak asasi manusia,” pungkasnya.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri