tirto.id - Percepatan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR dan pemerintah dikecam oleh sejumlah unsur lembaga masyarakat. Kritik tersebut salah satunya datang dari LBH Masyarakat.
Menurut LBH Masyarakat, masih banyak kesemrawutan dalam RKUHP karena minimnya pelibatan para pihak yang terkena dampak atas rumusan pasal di rancangan itu.
"RKUHP boleh dikatakan aksi gagah-gagahan DPR juga. Mereka mengejar elektoral," kata Afif Abdul Qoyim selaku Koordinator Advokasi Kasus LBH Masyarakat di Gedung YLBHI Jakarta pada Rabu (28/3/2018).
Beberapa pokok masalah yang menjadi keberatan adalah masih adanya beberapa pasal yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) seperti pasal penghinaan presiden dan wakil presiden.
"Dihidupkannya kembali rumusan pasal penghinaan bukan saja tidak mematuhi putusan MK, tapi sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi." kata Afif.
Selain itu, pemaksaan pengesahan RKUHP memunculkan dualisme hukum yang berlaku tentang narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan rumusan pidana narkotika dalam RKUHP itu sendiri.
Akibatnya, dualisme regulasi tersebut dapat melahirkan ketidakpastian hukum dalam mengatur persoalan pengguna narkotika.
"Pemerintah dan DPR berjalan sendiri. Badan Narkotika Nasional [BNN] juga tidak bisa ngapa-ngapain meski sudah menyurati," tutur Afif lagi.
Masuknya narkotika ke RKUHP menunjukkan tidak terencananya legislasi, baik di pemerintah maupun DPR. Terlebih di saat yang sama, ada pula rencana melakukan revisi UU 35 Tahun 2009.
Masalah makin runyam ketika kriminalisasi terhadap pengguna narkoba berdampak pada laju epidemi HIV yang kian tak terkendali. RKUHP soal narkotika ini dinilai akan membuka kran pengiriman pengguna ke penjara. Akses kesehatan menjadi kian jauh dijangkau oleh para pengguna.
Lebih lanjut pasal bermasalah lain di RKUHP yaitu soal pelarangan demonstrasi alat kontrasepsi. Hal ini dinilai berbenturan dengan semangat Kementerian Kesehatan untuk menekan laju epidemi HIV.
Pasal-pasal soal kesusilaan di RKUHP juga turut berpotensi besar mengkriminalisasikan banyak pihak. Ini termasuk orang-orang yang berada di dalam perkawinan yang tidak tercatat karena dianggap zina.
"Di Indonesia ada adat istiadatnya kalo mau dicek, perkawinan yang tidak dicatat." kata Afif. "Padahal sistem administrasi pencatatan pemerintah juga masih cacat." imbuhnya lagi.
LBH Masyarakat juga meminta Joko Widodo selaku kepala negara dan kepala pemerintahan untuk menarik RKUHP dari parlemen guna dibahas lebih dalam lagi. Hukum pidana adalah sistem yang dibangun untuk melindungi publik. Bukan seperti RKUHP saat ini yang mengancam demokrasi, privasi, juga kesehatan publik.
Pemaparan keberatan dari LBH Masyarakat disampaikan dalam acara "Konferensi Pers: Semrawut RKUHP" yang dilaksanakan di Gedung YLBHI Jakarta Pusat pada Rabu 28 Maret 2018.
Lembaga lain yang turut menyuarakan keberatan dalam acara tersebut seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
Penulis: Tony Firman
Editor: Yuliana Ratnasari