tirto.id - Lembaga survei Indo Barometer baru saja mengumumkan bahwa Soeharto adalah presiden paling berhasil dalam sejarah Indonesia. Kesimpulan tersebut muncul setelah Indo Barometer melakukan survei terhadap 1.200 responden pada 15-22 April 2018.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa menilai hasil survei itu wajar karena rezim Orde Baru telah melakukan hegemoni selama 32 tahun.
Bahkan, Alghiffari menyebutkan hegemoni itu masih tetap terasa meski reformasi politik di Indonesia sudah berjalan 20 tahun sejak 1998.
“Soeharto berhasil menghegemoni masyarakat Indonesia, dengan memunculkan narasi bahwa Orde Baru itu baik,” kata Alghiffari di Jakarta pada Senin (21/5/2018).
Dalam survei tersebut, Soeharto memperoleh angka penilaian positif dari publik sebagai presiden yang berhasil memimpin Indonesia sebesar 32,9 persen. Setelahnya ada Sukarno (21,3 persen), Joko Widodo (17,8 persen), Susilo Bambang Yudhoyono (11,6 persen), BJ Habibie (3,5 persen), Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1,7 persen), dan Megawati Soekarnoputri (0,6 persen).
Alghiffari menilai, hegemoni yang muncul mampu menutupi berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama pemerintahan Soeharto. Di antaranya seperti kejadian G30S pada 1965 yang kemudian melancarkan jalan Soeharto sebagai presiden selama 32 tahun, serta jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998 yang diiringi dengan kerusuhan massal dan penculikan para aktivis.
“Masyarakat lupa bahwa elit politiknya menarasikan hegemoni. Bagaimana mungkin amanat reformasi untuk menegakkan supremasi hukum, sementara struktur hukumnya diisi oleh orang-orang yang masih pro Orde Baru?” ujar Alghiffari.
Alghiffari menyebutkan bahwa faktor utama yang menghambat tuntasnya amanat reformasi pada 20 tahun lalu terkait dengan struktur politik.
Menurut Alghiffari, berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi saat itu tidak akan bisa tuntas apabila pemerintah sekarang masih merangkul orang-orang yang pro-Orde Baru untuk memiliki jabatan penting.
“Bahkan ada juga yang tangannya berdarah di zaman Orde Baru. Kalau itu tidak diselesaikan, maka agenda-agenda yang lain tidak bisa diselesaikan juga,” ungkap Alghiffari.
Masih dalam kesempatan yang sama, Alghiffari juga mengkhawatirkan peran TNI yang seakan kembali dihidupkan dalam berbagai aspek hidup masyarakat.
“Di antaranya seperti MoU dengan Polri, BUMN, mengurusi masalah-masalah di luar pertahanan, kemudian mengurus pembangunan infrastruktur di Indonesia Timur, kemudian penyuluh pertanian. Itu ancaman bagi reformasi,” ucap Alghiffari.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Alexander Haryanto