tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) yang menggusur paksa warga yang mayoritas hidup sebagai petani.
Pihak UIII melakukan penggusuran lahan secara paksa bersama aparat gabungan yang terdiri dari unsur TNI, Polri, dan Satpol PP di lahan garapan warga penggarap lahan eks RRI, Depok, Jawa Barat.
Tindakan tersebut diklaim sebagai pengerjaan proyek pembangunan kompleks kampus UIII yang juga merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
"Proses pembangunan UIII merupakan bentuk penggusuran paksa dan telah melanggar hak warga atas penghidupan yang layak," kata Pengacara Publik dari LBH Jakarta Fadhil Alfathan melalui keterangan tertulisnya, Kamis (27/7/2023).
Dalam peristiwa ini, kata dia, jelas bahwa lahan garapan warga digusur tanpa proses musyawarah yang tulus, pencarian solusi yang mengutamakan win-win solution.
Fadhil menegaskan proses pembangunan ini jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) dan hak konstitusional warga negara atas penghidupan yang layak sebagaimana dijamin Pasal 27 Ayat (2) UUD NRI 1945.
Sebab, penggusuran lahan garapan yang menghancurkan tanaman milik warga tentu menyebabkan aktivitas perekonomian warga yang selama ini menggantungkan kehidupannya dengan bertani menjadi terganggu.
Terlebih dalam kasus ini, warga yang didampingi LBH Jakarta telah menyampaikan pengaduan kepada Komnas HAM RI.
"Namun sayangnya, pihak UIII dan Kementerian Agama (Kemenag) RI tetap melakukan penggusuran paksa bersama aparat keamanan," ucapnya.
Padahal jika merujuk pada ketentuan Pasal 76 Ayat (1) UU HAM, dalam hal terjadi pelanggaran HAM, Komnas HAM sebagai lembaga negara independen yang cakupan kewenangannya berada di ranah pengawasan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM memiliki fungsi pemantauan dan mediasi. Seharusnya pihak UIII dan Kemenag RI menghormati proses di Komnas HAM tersebut.
Selain itu, tindakan pihak UIII dan Kemenag RI yang melanggar hak warga dan mengesampingkan proses di Komnas HAM tersebut juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan karena melanggar prinsip pelindungan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf b UU Administrasi Pemerintahan.
Kemudian, keterlibatan aparat TNI dinilai berlebihan karena telah melanggar UU TNI dan prinsip-prinsip HAM. Pengerahan aparat keamanan lintas satuan kerja dengan jumlah besar justru menimbulkan suasana ketakutan yang bukan hanya menyebabkan ketakutan terhadap warga terdampak–khususnya kelompok perempuan, anak, dan lansia. Melainkan juga menyebabkan aktivitas sosio-ekonomi warga sekitar menjadi terganggu.
Keterlibatan TNI dalam kasus ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 UU TNI yang pada pokoknya menegaskan bahwa tugas TNI adalah untuk menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah.
"Operasi militer selain perang, dalam membantu tugas pemerintah daerah atau membantu kepolisian negara Republik Indonesia dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang, harus dilaksanakan berdasarkan keputusan politik," tuturnya.
Adapun keterlibatan TNI dalam kasus ini sudah menjadi pola yang kerap dilakukan terhadap mayoritas kasus penggusuran bersamaan dengan adanya intimidasi dan kekerasan, pembangkangan terhadap upaya hukum, hingga pelanggaran hak masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah dan mendapatkan penghidupan yang layak.
"Hal ini tidak hanya berimbas hilangnya hunian, penggusuran juga mengancaman keselamatan jiwa, kesehatan serta hilangnya akses terhadap makanan, pendidikan, perawatan kesehatan bahkan pekerjaan dan peluang mencari mata pencaharian lainnya," tegasnya.
Selanjutnya, LBH Jakarta memandang kasus ini merupakan contoh konkret ekses dari PSN. Serangkaian pelanggaran HAM di Desa Wadas, maupun bagaimana pembangunan Sirkuit Mandalika yang melanggar HAM dan meminggirkan hak masyarakat adat cukup jelas mempertontonkan parade pelanggaran HAM atas nama PSN.
Alih-alih meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagaimana digadang-gadang pemerintah, PSN justru jadi mesin penggusur rakyat.
Tindakan pihak UIII bersama aparat keamanan tersebut bukanlah kali pertama. Sejak tahun 2019, warga yang sudah hidup puluhan tahun harus berhadapan dengan aparat keamanan maupun eskavator yang hendak menggusur ruang hidup sekaligus sumber penghidupannya.
Tak sampai di situ, pembangunan kampus UIII yang direncanakan secara keseluruhan di atas lahan seluas 142,5 hektar juga mengancam pemukiman warga.
LBH Jakarta mendesak Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Quomas; Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo; Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menghentikan seluruh tindakan penggusuran paksa lahan warga penggarap lahan eks RRI, Depok, Jawa Barat.
"Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melaksanakan fungsi pemantauan atau penyelidikan dan mediasi terkait kasus ini," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Fahreza Rizky