tirto.id - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan PT Taman Harapan Indah tentang pencabutan izin reklamasi Pulau H. Putusan itu termuat dalam laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara sipp.ptun-jakarta.go.id dengan nomor 24/G/2019/PTUN.JKT.
"Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya," demikian tertulis dalam amar putusan tersebut.
Majelis hakim yang diketuai Edi Septa Surhaza memerintahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut surat keputusan terkait pencabutan izin pelaksanaan reklamasi Pulau H.
Dalam amar putusan, hakim juga mewajibkan Anies untuk memproses izin perpanjangan SK Gubernur Nomor 2637 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau H kepada PT Taman Harapan Indah.
Gubernur Anies mengaku menghormati putusan tersebut. Namun, ia bakal menempuh banding karena bersikukuh menghentikan reklamasi. Anies menyatakan akan terus melawan para pengembang yang akan melanjutkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta.
"Saya harus garis bawahi, meneruskan reklamasi ini berbahaya untuk masa depan lingkungan hidup Jakarta," kata Anies saat ditemui di GOR Velodrome, Jakarta Timur, Selasa (30/7/2019).
Anies mengatakan langkah banding bakal diambil setelah Pemprov DKI menerima salinan putusan. Hingga Selasa pagi, ia mengklaim belum menerima salinan putusan dari PTUN Jakarta.
Putusan PTUN Dinilai Berlebihan
Pengacara publik dari Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, Nelson Simamora menilai putusan PTUN berlebihan dan melampaui kewewenangan. Ini lantaran, putusan PTUN berisi perintah yang mewajibkan Anies memproses izin.
"PTUN itu hanya sebatas membatalkan dan menyatakan tidak sah. Kenapa juga harus memerintah dan mewajibkan? Ini dua hal berbeda. Seolah memgakomodir permintaan pengembang," kata Nelson saat dihubungi reporter Tirto, Senin (29/7/2019).
Pada sisi lain, Nelson juga mengkritik sikap Pemprov DKI Jakarta yang dinilai tidak tegas. Ia mengatakan gugatan yang dilayangkan pengembang pada Februari 2019 muncul karena ada celah dari kebijakan Pemprov DKI.
"Dibilang cabut tapi enggak serius dan enggak total. Masak ada celah bagi pengembang seperti ini? Apa sudah dikaji matang-matang yang akhirnya sesuai dengan hukum?," kata dia.
Tak hanya itu, Nelson juga mengkritik langkah Pemprov DKI yang terlalu lama memberikan surat keputusan pencabutan izin ke pengembang hingga jeda dua bulan.
"28 September kalau enggak salah, Anies pede banget ngomong kalau izin reklamasi dicabut. Tapi kenapa pengembang baru nerima surat keputusan itu dua bulan setelahnya? Di amar putusan PTUN jelas, kok, tertulis pengembang baru menerima 30 November. Dan menggugat pada Februari 2019," jelasnya.
Dalam proses banding atas putusan PTUN, Nelson menyarankan Anies melibatkan warga terdampak.
"Kalau memang menganggap apa yang dilaksanakan adalah mengikuti kehendak rakyat, ajak warga-warga yang menolak reklamasi," kata Nelson. "Salahnya enggak ngajak warga dari awal," tambahnya.
Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja. Ia mengatakan seharusnya Anies mengajak warga terdampak sejak gugatan dari pengembang muncul.
"Salah sendiri juga, sih. Pak Anies menjadi tergugat enggak bilang-bilang kemarin. Seharusnya bisa konsolidasi ke warga yang terdampak," kata Elisa saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (30/7/2019).
Elisa menilai putusan PTUN tidak serta merta membuat Pemprov DKI harus melanjutkan reklamasi. Ia beralasan masih ada upaya hukum banding yang bisa ditempuh Pemorov DKI.
Menurut Elisa, pencabutan izin pelaksanaan reklamasi Pulau H yang dilakukan Anies sebelumnya sah dan legal.
"Jadi sah-sah saja dicabut. Nanti, kan, akan ditinjau kembali dan itu kembali kepada pemberi izin, yaitu Pemprov DKI Jakarta. PTUN bukan pemberi izin," tegasnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan