tirto.id - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Santoso menilai putusan Mahkamah Konstitusi terhadap larangan eks koruptor menjadi calon legislatif (caleg) selama 5 tahun setelah bebas dari penjara tidak cukup untuk dalam proses pemberantasan korupsi.
Menurutnya perlu ada aturan yang ketat dalam pengawasan partai politik agar tidak memberikan kesempatan bagi koruptor untuk maju berpolitik.
"Untuk menciptakan efek jera kepada masyarakat atas tindakan koruptif, selain undang-undang mengatur dengan batasan yang tetat terhadap pelaku korupsi, partai juga menjadi elemen penting dalam menjaga kejahatan korupsi," kata Santoso saat dihubungi Tirto pada Jumat (2/12/2022).
Santoso mengungkapkan partai politik harus diawasi dengan ketat, karena dari sana kans eks koruptor maju dalam kontestasi Pemilu.
"Karena partai yang memiliki hak mencalonkan seseorang menjadi kepala daerah. Anggota DPR dan DPRD yang kuncinya ada di partai," jelasnya.
Menurutnya, putusan MK yang memberikan hak kepada eks koruptor maju dalam partai politik hingga 5 tahun setelah bebas menjadi titik kompromi.
Sebelum proses judicial review Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-undang Pemilu diartikan sebagai kesempatan untuk koruptor maju menjadi peserta politik dengan syarat mengumumkan citra dirinya yang pernah tersandung kasus korupsi.
"Meskipun syarat syarat untuk maju dibuat setelah 5 tahun bebas baru dapat mencalonkan diri sebagai calon legislatif, kepala daerah, hingga kepala negara. Dengan keputusan itu maka menjadi efek jera kepada masyarakat yang berbuat korupsi tapi di sisi lain para mantan korupsi," terangnya.
Santoso meyakini bahwa pemilih di Indonesia sudah memiliki kesadaran untuk tidak memberi dukungan kepada kandidat yang memiliki rekam jejak korupsi.
"Masyarakat saat ini saya yakin sudah sangat melek politik dan akan menghukum partai yang mencalonkan mantan napi korupsi sebagai calon kepala daerah, caleg DPRD atau DPR," ujarnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Bayu Septianto