tirto.id - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengklaim pelarangan ekspor bijih nikel yang diserukan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) membuat para pengusaha merugi hingga Rp500 miliar.
Sekjen APNI Meidy K Lengkey mengatakan kerugian tersebut dihitung dari biaya delay yang harus dibayar pengusaha ketika tengah mengirimkan bijih nikel dengan menggunakan kapal-kapal laut, namun justru tertahan di pelabuhan.
"Pernyataan [Kepala BKPM] itu keluar pada 28 Oktober 2019. Dari kami sudah ada 20 kapal yang tertahan, bongkar muat tidak bisa, keluar juga tidak bisa. Kalau dihitung-hitung lima hari saja penambang rugi Rp500 miliar," kata Meidy di Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Kerugian juga ditaksir lebih besar manakala saat ini ada 64 kapal di Sulawesi Selatan yang masuk dalam proses transaksi dari 1 sampai 31 Oktober namun belum terisi oleh bijih nikel, padahal kapal pengirim sudah datang untuk siap diisi ulang.
"Itu baru Sulawesi ya karena saya di sana, belum yang lain. Ini pasti lebih [kerugian]. Ini biaya vessel [kapal] siapa yang mau bayar kalau dihentikan [ekspor]. Vessel itu banyak Sulsel ada 64 unit. Ada juga 20 vessel tersebar di Konawe Utara," jelas Meidy.
Belajar dari pengalaman itu, Meidy berharap pemerintah lebih hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan, terutama yang tidak resmi.
"Itu enggak ada aturan di atas Permen ESDM 11 2019, itu statmennya aja, jangan lah seperti itu," terang dia.
Pada 28 Oktober yang lalu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia tiba-tiba mengumumkan penyetopan ekspor ore (bijih) nikel RI. Keputusan ini dua bulan lebih cepat dari kebijakan awal yakni mulai 1 Januari 2020.
Pelarangan ini diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Sementara itu, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak mengklaim belum mendapat surat resmi dari BKPM terkait pembatasan ekspor yang sudah dilarang sejak pekan lalu.
"Saya pun dengernya dari media belum ada surat formal yang dikeluarkan Kepala BKPM kepada Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, ESDM, Menteri Perindustrian sehingga para menteri akan berkumpul akan membuat satu koordinasi apakah betul-betul dipercepat lagi," kata Yunus di Jakarta Selatan, Rabu (6/11/2019).
Namun yang pasti, lanjut Yunus, jika berdasarkan legalitas maka Permen ESDM nomor 11 tahun 2019 sampai saat ini masih tetap berlaku.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Ringkang Gumiwang