tirto.id -
Dalam beleid tersebut, dijelaskan bahwa: "setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan."
"Sekarang kami kaji apakah Pemda DKI, Gubernur, masuk ke dalam orang atau badan hukum yang diatur dalam pasal itu," ungkapnya di Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa (13/3/2018).
Menurut Yayan, Pemprov DKI tidak dapat dijerat pidana lantaran bukan termasuk ke dalam kriteria perorangan yang dimaksud dalam pasal tersebut.
"Kalau menurut Biro Hukum, kita enggak masuk ke kriteria itu. Tapi nanti terserah polisi mau berpendapat seperti apa. Penataan kita sampaikan juga ada instruksi gubernur," ujarnya.
Pendapat serupa pernah dilontarkan pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Ia menilai laporan Muannas Al-Aidid dan Jack Boyd Lapian ke Polda soal penataan Tanah Abang salah alamat.
Menurut Fickar kebijakan publik tak masuk dalam objek hukum pidana, sehingga mestinya laporan tentang penataan Tanah Abang ditujukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Itu pun syaratnya pihak-pihak yang mengajukan harus punya legal standing, dalam hal ini berkaitan dengan pengalihan fungsi jalan itu,” kata Fickar saat dihubungi Tirto, 27 Februari lalu.
Suatu kebijakan dapat ditarik ke ranah pidana, kata dia, apabila misalnya pejabat yang mengeluarkan kebijakan menerima suap. “Yang bisa dipidanakan jika diketahui seorang pejabat yang memutuskan kebijakan menerima sesuatu dari pihak yang diuntungkan oleh kebijakan itu," ujarnya.
Hal lain yang membuat laporan pidana atas penataan Tanah Abang bermasalah, menurut Fickar, lantaran kepala daerah dibolehkan dan berwenang mengambil kebijakan, baik dalam konteks membuat peraturan maupun membuat diskresi (menerobos aturan).
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri