Menuju konten utama

Laporan Keuangan Garuda Indonesia: Tak Wajar dan Memicu Kontroversi

Dua komisaris Garuda Indonesia, yaitu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria mempertanyakan dan menolak menandatangani laporan buku tahunan Garuda 2018.

Laporan Keuangan Garuda Indonesia: Tak Wajar dan Memicu Kontroversi
sebuah pesawat jet Boeing 737 Garuda Indonesia diparkir di apron di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Indonesia. AP / Dita Alangkara

tirto.id - PT Garuda Indonesia meraup untung 809,85 ribu dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang 2018. Kinerja perusahaan pelat merah itu jauh lebih baik dari data laporan keuangan 2017 yang mencatat kerugian sebesar 216,58 juta dolar AS.

Namun, kinerja apik perusahaan yang merugi sejak beberapa tahun terakhir ini tak sepenuhnya disambut baik oleh semua pihak. Dua komisaris Garuda, yaitu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria bahkan mempertanyakan dan menolak menandatangani laporan buku tahunan Garuda 2018.

Chairal Tanjung dan Dony Oskaria adalah komisaris Garuda Indonesia yang mewakili pemegang saham dari PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd yang menguasai 28,08 persen saham emiten berkode GIAA itu.

Kedua komisaris itu menyoroti realisasi Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan, antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia (anak usaha Garuda), yang diteken pada 31 Oktober 2018.

Dalam surat yang didapatkan awak media ketika Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) berlangsung Rabu (24/4/2019) tertulis Mahata bekerja sama secara langsung dengan PT Citilink Indonesia. Melalui kesepakatan ini, Garuda mendapat keuntungan sebesar 239,94 juta dolar AS, yang 28 juta dolar AS di antaranya merupakan bagi hasil Garuda dengan PT Sriwijaya Air.

“Kami tidak ada masalah, sebenarnya secara bisnis Garuda oke, kuartal I (2019) juga naik. Kami hanya keberatan terhadap satu transaksi itu saja [realisasi kerja sama Garuda-Mahata],” kata Chairal saat ditemui usai menghadiri RUPTS Garuda Indonesia, di Pullman Hotel, Jakarta Pusat, 24 April 2019.

Chairal yang juga adik dari pengusaha Chairul Tanjung ini menambahkan, “itu tidak perlu dijelaskan karena masalah pendapat, kami tidak sependapat dengan perlakuan akuntansinya.”

Perlakuan akuntansi yang dicurigai Chairal adalah pencatatan transaksi dari kerja sama Garuda dan Mahata dalam satu tahun buku yakni laporan buku tahunan 2018.

Berdasarkan laporan keuangan GIAA 2018 tercatat kerja sama dengan Mahata berlaku selama 15 tahun. Kontrak kerja sama dengan Mahata nilainya mencapai 239,94 juta dolar AS atau sekitar Rp2,98 triliun.

Namun, Mahata saat ini baru membayar 6,8 juta dolar AS. Sisanya sebesar 233,13 juta dolar AS dicatatkan sebagai piutang lain-lain.

Dalam laporan hasil audit terkait transaksi antara Mahata dan Garuda yang diunggah dalam keterbukaan informasi publik pada situs resmi Bursa Efek Indonesia (BEI) disampaikan bahwa transaksi tersebut telah diaudit dan mendapat predikat wajar.

Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Jasa Konsultasi Kementerian BUMN Gatot Trihargo menegaskan laporan keuangan Garuda 2018 sudah melalui proses audit sehingga tidak perlu diragukan.

“Semua, kan, sudah diaudit,” kata dia saat dikonfirmasi para pewarta di Hotel Pullman usai menghadiri RUPST, Garuda, Rabu (24/4/2019).

Namun, jawaban Gatot Trihargo itu tak lantas menghilangkan kecurigaan atas transaksi tak wajar yang bisa membalik laporan kinerja maskapai pelat merah itu dalam waktu relatif singkat. Apalagi, sampai September 2018, Garuda sempat mencatatkan rugi, yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk, senilai 114,08 juta dolar AS.

Ikatan Akuntan Nilai Tak Wajar

Ketua Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarkosunaryo mengatakan, sebenarnya ada metode akuntansi yang disebut metode akrual, yaitu metode pencatatan akuntansi yang memungkinkan piutang dimasukkan sebagai pendapatan meskipun uangnya belum diterima.

Namun, kata Tarkosunaryo, tak sembarang piutang bisa dicatat sebagai pendapatan. Piutang itu harus jelas kontrak pembayaran dan penagihannya.

“Kalau misalnya 15 tahun itu diakui dalam satu tahun, pertanyaannya itu, apakah memang yang 15 tahun itu sudah diselesaikan dalam waktu setahun?” kata dia.

Hal senada diungkapkan Anggota Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan IAI Cris Kuntandi. Menurut dia, laporan manajemen Garuda yang mencatatkan transaksi 15 tahun dalam 1 tahun buku akuntansi adalah pelaporan yang tidak wajar.

Dalam sistem pelaporan akuntansi yang wajar, kata Cris, seharusnya nilai transaksi selama 15 tahun dibagi rata setiap tahunnya selama durasi kerja sama yang disepakati. Karena itu, harus ada perbandingan yang seimbang antara pendapatan (revenue) dengan beban operasi (cost) di masing-masing tahun.

“Artinya pendapatan itu harus disebar selama 15 tahun lagi,” kata Cris.

Selain tak wajar, Cris menilai, pencatatan transaksi itu juga berpotensi menimbulkan masalah keuangan pada Garuda di masa depan. Menurut dia, karena sudah dicatat pada tahun buku 2018, maka Garuda tak bisa mencatat uang masuk dari Mahata setiap tahunnya sebagai pendapatan dalam laporan keuangan tahunan selama periode kerja sama.

“Risiko yang selanjutnya yaitu di tahun berikutnya enggak ada pendapatan. Yang kemudian hanya ada biaya pengeluaran saja,” kata Cris.

Dengan demikian, kata Cris, Garuda justru berisiko mencatat pembengkakan beban operasi dalam laporan keuangannya, tapi tidak diimbangi dengan catatan pendapatan lantaran pendapatan yang dimaksud sudah dicatat dalam laporan tahunan pada 2018.

“Itu enggak bakal nyambung (laporan beban operasi dan pendapatannya), wong itu biayanya keluar dalam 15 tahun. Kok pendapatannya diakui dalam satu tahun tersebut [hanya di 2018]” kata Cris.

Sementara risiko pada kinerja keuangan Garuda Indonesia itu juga berisiko mengganggu keuangan negara. Bila Garuda Indonesia benar-benar mencatat laba, maka harusnya pemerintah mendapat bagian keuntungan atau dividen dari Garuda.

Namun, lantaran pendataan sumber laba itu hanya berupa piutang, maka tak ada sepeser pun dana yang bisa diserahkan ke pemerintah dalam bentuk dividen. Potensi pendapatan negara pun hilang.

“Kalau secara negara itu, kan, lebih pada dividen yang diterima dari Garuda itu, kalau dia untung,” kata Cris.

Untuk itu, Cris menyarankan agar dilakukan audit ulang atas laporan keuangan Garuda Indonesia. Dan bila kecurigaan itu terbukti, kata Cris, maka Garuda wajib mengoreksi laporan keuangannya.

“Itu ada dalam bahasanya overstate. Overstate itu menyatakan lebih tinggi atas data laba yang diterima. Sebenarnya kalau ada auditornya, itu bisa melakukan koreksi atas pendapatan itu. Jadi ketika auditor melihat laporan keuangan mengakui pendapatan 15 tahun untuk 1 tahun. Makanya itu harus ada koreksi audit. Sehingga nanti laporan keuangan menjadi wajar,” kata Cris.

Baca juga artikel terkait GARUDA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz