tirto.id - Program Lapor Mas Wapres langsung menerima banyak pengaduan di hari pertama dibuka. Kuota awal yang ditetapkan hanya 50 pengadu per hari.
"Kami batasi awal kalau misalnya 50 orang perhitungan kami itu jam 2. Kalau memang 50 sudah terlayani sampai jam 2 itu, kami buka," kata Deputi Administrasi Setwapres, Sapto Harjono, di Istana Wakil Presiden, Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2024).
Aduan dari masyarakat akan diproses selama 14 hari kerja. Kemudian, pengadu bisa mengikuti perkembangan aduan itu melalui situs setwapreslapor.go.id.
Sapto mengutarakan bahwaWapres Gibran Rakabuming Raka menginginkan aduan yang masuk dapat diproses secara cepat. Jika nantinya aduan yang masuk adalah berkaitan dengan instansi lain, ia akan langsung dikoordinasikan untuk segera diselesaikan.
"Beliau (Wapres Gibran) menginginkan respons yang secepat-cepatnya dan segera dikoordinasikan dengan instansi terkait apabila memang membutuhkan koordinasi seperti itu. Karena beliau konsen dengan aduan ini," tutur dia.
Berdasarkan pantauan reporter Tirto di posko pengaduan, hingga pukul 13.18 WIB, jumlah pengadu sudah melebihi kuota yang ditetapkan. Total ada 61 pengadu yang mendaftar di ruang transit pertama untuk selanjutnya ke bagian pengaduan.
Salah seorang pengadu yang ditemui reporter Tirto adalah Astinah Septiani (42), warga Jakarta yang berprofesi sebagai tukang urut. Dia datang ke Posko Lapor Mas Wapres dengan KRL.
"Jadi, ini kesempatan saya untuk mengadukan perjanjian saya dulu dengan Bapak Jokowi bahwa jika covid corona sudah selesai, saya harus menyiapkan dua ekor sapi untuk dikorbankan. Karena itu tidak terlaksana makanya kan Palestina perang terus," ungkap Astinah di Posko Lapor Mas Wapres.
Astinah mengutarakan bahwa dia dan Jokowi sudah pernah terlibat perjanjian untuk mengurbankan dua ekor sapi itu. Kendati demikian, tidak terlaksana hingga akhirnya bencana terus terjadi, salah satunya kebakaran pabrik di Bekasi.
Di sisi lain, ada Burhanuddin, pria asal Lamandau, Kalimantan Tengah. Dia melapor terkait dengan penanganan perkara pidana di Kalimantan Tengah, khususnya Lamandau yang masih sangat lemah.
Burhanuddin mengaku bahwa penegakan hukum di Lamandau yang saat ini terjadi adalah terkait pengelolaan kebun sawit. Kasus itu berawal dari SK Bupati yang memutuskan 20 persen dari kebun sawit adalah hak dari masyarakat adat, tapi ketentuan itu tidak dijalankan.
"Saya sudah melapor ke Polda Kalimantan Tengah enam bulan lalu dan sampai saat ini belum ada hasilnya. Laporan ke Polres Lamandau sejak Oktober juga belum ditanggapi. Kami ingin laporan masyarakat itu diabaikan, makanya kami datang ke sini," ucap Burhanuddin.
Penulis: Ayu Mumpuni
Editor: Fadrik Aziz Firdausi