tirto.id - Literasi Indonesia tumbuh bersama olahraga. Menurut buku Merayakan Sepakbola: Fans, Identitas, dan Media Edisi 2, Fajar Junaedi menulis jika olahraga menjadi topik yang diminati para pembaca koran setelah politik.
“Para pembaca umumnya membaca halaman depan lalu kemudian beralih ke halaman olahraga,” tulis Fajar. Sepakbola—sebagai olahraga nomor satu di dunia—pastinya ikut berperan. “Beberapa pembeli eceran saat datang langsung membuka halaman olahraga, terutama ketika ada pertandingan sepakbola besar (big match) yang akan berlangsung.”
Tingginya minat baca terhadap sepakbola membuat Kompas menyeriusi topik sepakbola. Sebelumnya, rubrik olahraga hanya dimuat pada satu halaman. Namun, pada 3 Maret 1984, atau tepat hari ini 36 tahun lalu, BOLA hadir pertama kali sebagai sisipan harian Kompas.
Pemimpin Umum Kompas saat itu, Jakob Oetama, memberi tugas dua wartawannya di bagian olahraga untuk membuat Tabloid BOLA. Mereka adalah Ignatius Sunito dan Sumohardi Marsis. Dari situ BOLA mulai dikenal oleh publik.
Perkembangan BOLA dari Masa ke Masa
Meski awalnya hanya terbit satu pekan sekali, BOLA selalu dinantikan publik. Sebagai pelopor BOLA, Sumohardi Marsis rajin menyapa pembaca lewat rubrik “Catatan Ringan”.
“Salah satu yang tak pernah saya tinggalkan membaca BOLA adalah membaca tulisan Sumohadi Marsis. Namanya ‘Catatan Ringan’. Setiap pekan, selalu hadir dengan isu terbaru, segar. Tidak bertele-tele. Tidak menghakimi. Apalagi menghujat,” tulis Martin Sihombing dalam obituari untuk Sumohadi Marsis.
Sadar kehadirannya terus dinantikan, Koran Kompas lantas menyisipkan BOLA dalam bentuk tabloid—format surat kabar yang ukurannya lebih kecil daripada koran—berisi 16 halaman mulai 9 Maret 1984 ini. Tanggal itu bertepatan dengan hari Jumat, yang dianggap sebagai hari keramat bagi BOLA. Sejak itu, Tabloid BOLA hadir setiap Jumat.
Perkembangan Tabloid BOLA terus mengalami kenaikan pesat. Itu yang membuat BOLA terbit secara mandiri—tak lagi menjadi sisipan Kompas—pada 2 April 1988. Jumlah halamannya pun bertambah menjadi 24. Sama seperti sebelumnya, hari Jumat masih dipilih sebagai hari terbit.
Pada edisi itu, BOLA menampilkan Diego Maradona sebagai kaver. “Maradona ke Galatama?” dipilih menjadi tajuk utama karena saat itu memang ada gosip Maradona akan bermain di Liga Sepakbola Utama Indonesia (Galatama).
Kemandirian BOLA ini semakin menegaskan mereka sebagai market leader di industri percetakan olahraga. Tak heran, generasi 1990-an umumnya menganggap BOLA sebagai pegangan atau “kitab suci sepakbola”.
Pada masa itu, hal-hal sederhana seperti berapa jumlah caps Maradona biasa bermunculan di rubrik pertanyaan dari pembaca. Di saat internet belum tersentuh, banyak data dan fakta juga tersaji di artikel BOLA yang membuat para pembaca merasa selangkah lebih tahu. Pada masa sekarang, informasi simpel semacam itu tentu dapat ditemukan dengan mudah di Wikipedia.
Di dalam bukunya, Fajar Junaedi menulis jika Serie A Italia adalah liga yang paling banyak dicari informasinya. Popularitas Liga Italia kemudian membuat liga-liga lainnya juga semakin banyak diminati, mulai dari Liga Inggris, Liga Spanyol, dan Liga Champions.
Ekspansi pertama Tabloid BOLA dilakukan pada 1997. Untuk mengaver laga-laga di akhir pekan sebelumnya dan memprediksi apa yang akan terjadi pada laga-laga akhir pekan berikutnya, BOLA pun terbit setiap Selasa dan Jumat.
Secara umum, BOLA memiliki dua rubrik terkenal: OLE Nasional yang membahas sepakbola dalam negeri dan OLE Internasional yang membahas mancanegara. BOLA juga bukan hanya menampilkan pembahasan soal si kulit bulat, melainkan olahraga lain meski tak sebanyak sepakbola. Salah satu ciri khas mereka hadir pada karakter Si Gundul yang mulai muncul di rubrik komik.
Selain soal pembahasan mendalamnya, hal yang dinantikan para pembaca BOLA pada saat itu adalah poster. Popularitas poster ini yang kemudian membuat BOLA menerbitkan BOLA Poster pada 1999.
Pasca reformasi (1998), kehadiran tabloid semakin melesat bersama majalah. Itu membuat BOLA lagi-lagi melakukan ekspansi dengan menerbitkan majalah BolaVaganza sejak November 2001.
Jauh setelah itu, BOLA sempat terbit setiap hari sebagai Harian BOLA pada 2013. Namun dua tahun setelahnya, mereka kembali ke bentuk tabloid yang terbit dua kali sepekan.
Tumbuh dan Gugur sebagai Pelopor Bersama Para Kompetitor
Bukan hanya dianggap “kitab suci”, kehadiran Tabloid BOLA memantik berkembangnya bisnis serupa dari media-media berformat tabloid dan majalah. Kesuksesan mereka dengan topik sepakbola—dan olahraga secara umum—kemudian diikuti oleh munculnya Hai Soccer (selanjutanya menjadi SOCCER), GO (Gema Olahraga), Total Sport, TopSkor, Skor, TopSoccer, Libero, dan masih banyak lagi.
Dari semua yang disebutkan di atas, SOCCER dapat dibilang adalah kompetitor utama BOLA. Walau demikian, Fajar Junaedi menjelaskan dalam bukunya jika sebenarnya kedua tabloid itu memiliki target pasar yang berbeda.
“Yang beli BOLA itu umumnya orang dewasa, orang sudah kerja, atau anak kuliahan. Kalau SOCCER itu yang beli anak-anak SMA dan SMP,” kata Winarto, penjual koran di Kota Sragen, yang menjadi narasumber pada buku Merayakan Sepakbola: Fans, Identitas, dan Media Edisi 2.
Sayangnya, Tabloid SOCCER “pensiun” pada 11 Oktober 2014. Perubahan lanskap bisnis yang lebih mengarah pada digital adalah penyebab tabloid-tabloid berhenti beredar.
“Melihat dari lanskap bisnis terjadi perubahan sebanyak 80-85 persen di pasar. Perubahan itu bukan hanya di Kompas Gramedia (KG), tapi di seluruh media di Indonesia. Dan yang paling kena adalah media yang sifatnya reguler seperti mingguan dan bulanan, dalam hal ini tabloid dan majalah,” kata Rusdi Amral, Direktur Hubungan Masyarakat (Humas) KG Group.
Sejak Oktober 2014 tersebut banyak tabloid dan majalah yang mulai berguguran. Setelah SOCCER “pensiun”, edisi Harian BOLA tak lagi terbit meski usianya baru dua tahun lebih empat bulan saat itu.
Beberapa nama lain seperti Girls (berhenti Januari 2016), Sinyal (Desember 2016), Kawanku, CHIP, What Hifi, Auto Expert, Motor (semuanya Desember 2016), dan Hai (Juni 2017) juga tak lagi terbit. Kebanyakan mereka beralih ke digital.
Maka tak mengagetkan ketika BOLA memutuskan tak lagi terbit sebagai media cetak pada Oktober 2018. Mereka kemudian menerbitkan edisi pamitan pada 26 Oktober 2018.
“Setelah menemani pembaca di tanah air dan menjadi pengawas sekaligus partner bagi pengambil kebijakan olahraga nasional sejak Maret 1984, Tabloid BOLA milik Kompas Gramedia akhirnya harus menemui ujung perjalanan. Kami pamit,” tulis Weshley Hutagalung pada halaman pertama edisi pamitan tersebut.
Bukan kebetulan 26 Oktober 2018 itu bertepatan dengan hari Jumat. “Sesuai sejarahnya, edisi pertama BOLA pada 1984 terbit pada hari Jumat, dan akan berakhir pada Jumat pula,” cuit Tabloid BOLA di akun Twitternya pada Rabu (17/10/2018) malam.
Namun, sama seperti yang sudah terlebih dahulu pamit, BOLA masih menyapa para pembaca melalui digital platform.
Kalau dibandingkan dengan koran atau tabloid ternama dunia, BOLA jelas bukan siapa-siapa. Namun, kalau sudah menyentuh industri media cetak di Indonesia, BOLA dapat dikatakan adalah “kitab suci” yang menjadi pelaku sejarah, sebuah tengara, sekaligus pemantik perkembangan olahraga di Tanah Air.
Editor: Eddward S Kennedy