tirto.id - Mengapa seorang Agus Yudhoyono mau melepaskan kans karir militer yang tampaknyaakan gilang gemilang untuk menjadi calon gubernur DKI Jakarta?
Posisi gubernur DKI ini juga menarik mantan menteri pendidikan Anies Baswedan. Padahal, pada pemilihan presiden 2014, Anies termasuk yang difavoritkan untuk menjadi calon presiden. Belum lagi pengusaha yang sukses di usia muda, Sandiaga Uno.
Jakarta rupanya sangat menarik sehingga mereka yang berpeluang menempati posisi di lembaga tinggi negara dan populer di tingkat nasional mau mencalonkan diri untuk menjadi gubernur. Belum lagi jika menilik dua wali kota populer, Tri Rismaharini dan Ridwan Kamil, yang sempat digadang-gadang oleh partai-partai yang menyokongnya supaya masuk juga di bursa politik Jakarta.
Dengan mengesampingkan terlebih dahulu faktor-faktor lain, popularitas bisa menjadi tolok ukur dalam menjawab pertanyaan di atas. Ini bisa dilihat dari data perbandingan jumlah liputan tentang Ahok dengan dua pemimpin daerah paling populer lain, yakni Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (Emil) dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma).
Data pencarian berita di Google sampai Maret lalu menunjukkan popularitas Ahok-lah yang tertinggi. Dengan kata kunci “Basuki Tjahaja Purnama", didapat hasil pencarian pada kolom berita yang dihasilkan di Indonesia sepanjang masa, sebanyak 437 ribu. Untuk kata kunci “Ahok”, didapatkan 484 ribu hasil. Dua angka itu jauh mengungguli bilangan yang didapat untuk pencarian berita Risma dan Ridwan Kamil.
Menduduki kantor Balai Kota Jakarta selama empat tahun, Ahok mengungguli popularitas sejawatnya yang lebih dulu menjadi kepala daerah. Risma yang menjadi wali kota sejak 2010, dengan kata kunci “Risma” pada kolom berita Indonesia, mendapat pemberitaan sebanyak 127 ribu. Kata kunci “Tri Rismaharini” hasilnya lebih sedikit lagi, hanya menghasilkan 80.800 saja. Ridwan Kamil yang juga populer hanya berhasil menggaet publikasi kurang dari separuh berita tentang Ahok, yakni 207 ribu.
Manuel Castells dalam The Power of Identity (1997), menunjukkan fenomena penting yang terjadi pada dekade-dekade terakhir abad ke-20, yakni menyeruaknya politik pertunjukan (show politics). Ada tiga gambaran dari fenomena itu. Pertama, merosotnya partai-partai politik dan peranannya dalam menyeleksi kandidat. Kedua, munculnya sistem media yang kompleks. Ketiga, terbangunnya (sistem) pemasaran politik.
Adanya kepala daerah mendapat banyak penghargaan tetapi tidak populer seperti Bupati Nurdin Abdullah dari Bantaeng, menunjukkan analisis Castells ada benarnya. Bupati yang membawa daerahnya maju dalam ekonomi dan kesehatan ini hanya diberitakan 7.720 kali. Data ini bisa menunjukkan bahwa prestasi tanpa pemasaran dan strategi hubungan masyarakat yang ciamik tak bisa menggenjot popularitas atau pengakuan secara meluas.
Dengan mengikuti tesis Castells, terutama pada bagian tentang media dan pemasaran politik, hasil-hasil pencarian itu bisa menjadi indikator bahwa Ahok memenangkan politik pertunjukan. Untuk maju ke jenjang lebih tinggi yakni kursi kepresidenan, modal popularitas Ahok-lah yang terbesar. Ini jika dibandingkan sejawat pada posisi setara, misalnya Ganjar Pranowo yang hanya diberitakan sebanyak 46 ribu kali.
Buku Castells baru terbit pertama kali pada 1997, sehingga tak membahas media sosial. Namun, yang disebutkannya sebagai “sistem media yang kompleks” yang saat itu hanya mencakup media elektronik, bisa juga dimasuki unsur media sosial untuk konteks politik masa kini. Terkait media sosial ini, popularitas kepala-kepala daerah itu juga bisa dicek, misalnya di Twitter.
Dari data tangkapan di media sosial Twitter, lagi-lagi Ahok menjadi jawaranya. Untuk data followers hingga Maret 2016, Ahok mengantongi 4,48 juta, lebih dari tiga kali lipat pengikut Ridwan Kamil yang hanya 1,32 juta. Apalagi dibandingkan Risma yang hanya punya 15 ribuan pengikut. Dalam sehari, Ahok mendapat tambahan pengikut kira-kira 5 ribu, sedangkan Emil hanya sekitar 845 saja.
Demikian pula dengan data impresi atau tanggapan terhadap cuitan mereka. Impresi untuk Risma kecil, hanya sekira 600 ribuan. Tapi angka itu wajar, sebab Risma terbilang irit sekali dalam menggunakan media sosial. Impresi tweet Ahok sebanyak lebih dari 38 juta, melampaui Emil yang mencapai 28 juta. Padahal, walikota Bandung itu dikenal doyan main Twitter. Dalam sehari, Emil mencuit rata-rata 8 kali. Sedangkan Ahok, dalam sehari bisa ia tak mencuit sama sekali.
Dengan data-data sederhana di atas, bisa dikatakan bahwa Jakarta menjadi magnet bagi media. Duduk di kursi politik tertinggi di ibu kota berarti menjadi sorotan manusia se-Indonesia. Kata kunci “Joko Widodo”, sejak dilantik menjadi gubernur DKI 15 Oktober 2012 hingga sehari sebelum pencalonan resminya di bursa presiden pada 13 Maret 2014, membuahkan 169 ribu berita. Bilangan itu mengungguli “Prabowo Subianto” yang diberitakan 149 ribu kali dalam kurun waktu yang sama.
Dua angka terakhir melengkapi angka-angka yang sebelumnya dipaparkan ihwal keuntungan publisitas jika seseorang menjadi gubernur Jakarta. Itu sebabnya seorang bekas menteri yang pernah digadang-gadang agar jadi calon presiden pada 2014, kini terjun merebut kursi ini.
Lupakan juga pertanyaan dramatis mengapa Agus Yudhoyono harus mencampakkan karir militernya yang nampak gilang-gemilang. Karena masuk di gelanggang pemilihan gubernur-lah, ia jadi pembicaraan, diberitakan, dan terekam dalam banyak jejak digital di hari-hari belakangan ini.
Meminjam istilah show politics dari Castells: kursi gubernur adalah tiket memenangkan politik pertunjukan tingkat nasional.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti