tirto.id - Dalam berbagai kultum Ramadhan, sering dipaparkan bahwa puasa adalah ibadah istimewa yang ganjarannya langsung datang dari Allah. Ibnu Arabi dalam Futuhat Al Makkiyyah mengungkapkan bahwa puasa adalah bentuk tiada tindakan. Di dalamnya, terdapat larangan-larangan dari berbuat yang sifatnya negatif.
Puasa berbeda dengan ibadah lain. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Muhammad saw bersabda, "Setiap perbuatan (pahala) anak Adam akan digandakan baginya, satu kebaikan di balas dengan sepuluh kebaikan serupa sampai tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman; "Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu milik-Ku dan Akulah yang akan membalasnya." (H.R. Ibnu Majah).
Dalam "Keistimewaan Puasa Dibanding Ibadah Lainnya" oleh Muhamad Abror (NU Online), disebutkan terdapat beberapa tafsir tentang keistimewaan puasa. Yang pertama, sesuai sabda Nabi saw., puasa tidak memungkinkan seseorang riya' (pamer). Dalam puasa tidak ada gerakan khusus yang membuat orang yang menjalankan puasa, terlihat berbeda dengan orang yang tidak berpuasa.
Selain itu, puasa menjadi sarana bagi seseorang untuk menutup jalan masuk setan pada diri manusia. Sabda Nabi saw., "Sesungguhnya setan itu menyusup dalam aliran darah anak Adam, maka persempitlah jalan masuknya dengan lapar (puasa)".
Dengan tidak makan dan minum sejak waktu subuh hingga maghrib, sesesorang akan terbiasa mengendalikan dirinya, menahan nafsunya, mencegah kerakusan-kerakusan yang mungkin ditimbulkan ketika ia bebas menyantap segalanya.
Dalam Futuhat Al Makkiyyah (2019:127) Ibnu Arabi menjelaskan bahwa puasa adalah sifat samdaniyah, sifat khusus yang hanya menjadi milik Allah. Dalam puasa, terjadi upaya pelepasan dan penyucian dari konsumsi makanan.
Hakikat makhluk menuntut adanya makanan. Namun, dalam puasa, seorang hamba menyifati sesuatu yang tidak termasuk bagian hakikatnya, ia menyifati sesuatu tersebut karena tuntunan syariat berdasarkan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah:183, "Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu ...".
Kesabaran yang dilatih seorang hamba dari berpuasa adalah pengekangan bagi jiwa; seorang hamba yang berpuasa mengekang jiwa dari menyantap makanan dan minuman yang pada dasarnya diperbolehkan.
Rasulullah saw. bersabda, "orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan, kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu Rabbnya". Ibnu Arabi menjelaskan, kegembiraan saat berbuka adalah kegembiraan untuk ruh hewani seseorang, sedangkan kegembiraan saat bertemu dengan Rabb adalah kegembiraan untuk jiwa rasionalnya. Puasa memberikan seorang hamba pertemuan dengan Allah, yaitu musyahadah dan penyaksian.
Dalam Futuhat Al-Makkiyyah pula, Ibnu Arabi menerangkan bahwa puasa adalah bentuk tiada tindakan atau tiada perbuatan. Terdapat larangan bagi orang berpuasa, bukan cuma untuk menahan lapar, haus, atau melakukan hubungan badan. Tetapi juga tindakan lain.
Rasulullah saw. bersabda, "puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan laghwu (ucapan sia-sia) dan rofats (ucapan keji atau jorok). Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa"."
Dengan mengucapkan "aku sedang puasa", seorang muslim yang berpuasa menekankan tiada tindakan, bahwa ia meninggalkan perbuatan yang dilakukan orang lain. Ia memutuskan ikatan dirinya dari sifat-sifat yang menjerumuskan ruh dan jiwanya ke dalam pusaran duniawi, sekaligus mendekatkan dirinya kepada Rabbnya.
Editor: Iswara N Raditya