tirto.id - Banyak warga Zimbabwe yang merayakan berakhirnya masa pemerintahan Robert Mugabe selama 37 tahun, namun muncul kekhawatiran presiden baru Emmerson Mnangagwa juga bisa menjadi rezim otoriter.
Pengadilan Tinggi Zimbabwe juga dipertanyakan independensinya dalam kasus ini: mendukung atau menolak kudeta? Pertanyaan kedua, apakah kudeta militer di Zimbabwe tergolong legal?
Baru-baru ini, sebagaimana dilansir dari media lokal ZBC, Pengadilan Tinggi Zimbabwe menjawab kebingungan masyarakat tersebut dengan menerangkan bahwa kudeta militer direstui undang-undang.
"Tindakan Pasukan Pertahanan Zimbabwe untuk menghentikan perebutan kekuasaan oleh mereka yang dekat dengan mantan presiden Robert Mugabe sesuai dengan undang-undang," menurut ZBC yang Sabtu (25/11/2017) kemarin melaporkan pernyataan resmi dari pengadilan.
ZBC melaporkan Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa pengambil alihan kekusaan itu bertujuan untuk memastikan individu yang tidak terpilih tidak menggunakan kekuasaan yang hanya dimiliki oleh mereka yang terpilih.
Panglima militer menempatkan kendaraan militer di jalan-jalan di Harare dan menjadikan Presiden Mugabe (93) sebagai tahanan rumah, sebelum dia mengundurkan diri pada Selasa (21/11/2017), demikian laporan AFP.
Jumat (24/11/2017) kemarin Emmerson Mnangagwa hari ini dilantik sebagai Presiden Zimbabwe di depan ribuan pendukung yang bersorak di stadion nasional Harare.
Dengan mengambil sumpah jabatannya, mantan kepala keamanan berusia 75 tahun yang dikenal dengan sebutan "buaya" itu berjanji menegakkan konstitusi negara bekas koloni Inggris itu dan melindungi hak-hak semua dari 16 juta warga Zimbabwe.
Meskipun sebagian besar warga Zimbabwe merayakan mundurnya Mugabe yang berusia 93 tahun, yang memimpin negara di Afrika itu, beberapa dari mereka mengkhawatirkan masa depan negara di bawah Mnangagwa.
Mereka mempertanyakan peran Mnangagwa dalam pembantaian Gukurahundi di Matabeleland pada 1983 ketika sekitar 20.000 orang tewas dalam sebuah tindakan keras terhadap lawan Mugabe oleh Brigade Kelima yang dilatih Korea Utara.
Mnangagwa telah menolak mengambil bagian dalam kekejaman itu dan sejak kembali ke Zimbabwe setelah dua minggu bersembunyi dia telah menyampaikan demokrasi, toleransi dan ketundukan kepada hukum.
"Rakyat telah berbicara. Suara rakyat adalah suara Tuhan," katanya kepada ribuan pendukung Rabu lalu di markas partai ZANU-PF yang berkuasa, sebagaimana dilansir oleh Antara.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan