tirto.id - Penasihat hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail memandang pemerintah seharusnya menggunakan pendekatan lain jika ingin mengejar pengembalian kerugian negara.
Seharusnya, pemerintah mengajukan gugatan atau penagihan kepada Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) bila dipandang terjadi kekurangan bayar dalam pengembalian utang BLBI tanpa memidanakan Sjamsul dalam kasus korupsi pemberian Surat Keterang Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI).
“Lebih baik pemerintah mengajukan gugatan agar Sjamsul membayar kekurangan bila memang dipandang begitu. Dengan demikian masalah menjadi lebih sederhana dan kita tidak menghabiskan seluruh energi untuk kasus ini,” kata Maqdir dalam keterangan tertulis, Jumat (21/6/2019) malam.
KPK menetapkan pengusaha Sjamsul Nursalim dalam kasus korupsi pemberian SKL BLBI. Ia diduga merugikan negara hingga Rp4,58 triliun karena tidak membayar seluruh kewajiban pembayaran pinjaman tersebut. Ia hanya membayar Rp220 miliar, tetapi sudah mendapat surat keterangan lunas dari pemerintah kala itu.
Maqdir beranggapan, penetapan Sjamsul sebagai tersangka dengan mengaitkannya pada pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) tidak tepat karena SKL adalah domain pemerintah. Ia meyakini tidak ada upaya suap menyuap sehingga alasan menjadikan Sjamsul tersangka sangat lemah.
Di sisi lain, Maqdir menanyakan peran pemerintah dalam upaya KPK menersangkakan Sjamsul. Sebab, pemerintah menyatakan bahwa perkara BLBI-BDNI telah selesai.
Pemerintah pun sudah memberikan surat Release and Discharge (R&D) kepada Sjamsul pada 1999, sekitar lima tahun sebelum BPPN memberikan SKL.
Kemudian, kasus Sjamsul di kejaksaan juga sudah berhenti untuk masalah BLBI–BDNI, kepada Sjamsul telah diterbitkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) oleh Kejaksaan Agung.
Maqdir Ismail berpendapat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak boleh diam seribu bahasa berkenaan dengan perkembangan penyelesaian BLBI ini.
Ia mengingatkan, pada tanggal 3 Juli 2003, ada kesepakatan antara Pimpinan Komisi IX DPR RI, Pemerintah dan Bank Indonesia. Kemudian, pada 1 Agustus 2003, Pemerintah dan BI membuat kesepatan dalam masalah BLBI demi kepentingan ekonomi bangsa.
Dengan demikian, kata Maqdir, penyelesaian BLBI yang dilakukan dengan cara perdata atau out of court settlement ini, adalah kebijakan untuk kepentingan bangsa dan negara bukan untuk menyelamatkan pihak tertentu khususnya Sjamsul Nursalim.
"Jadi sekali lagi keliru, kalau ada pihak yang beranggapan penyelesaian BLBI ini harus dilakukan seperti menyelesaikan hutang piutang dalam kondisi normal. Karena dimensi krisis dalam penyelesaian BLBI ini lebih besar. Sehingga penyelesaiannya dilakukan secara perdata," kata Maqdir.
Maqdir meminta KPK lebih bijak dalam memahami segala keputusan pemerintah di masa lalu, terutama kebijakan yang diambil dalam masa krisis, seperti yang dilakukan dalam penyelesaian BLBI.
Sekiranya KPK menilai ada masalah kekuarangan pembayarannya, sebaiknya KPK meminta Kuasa dari pemerintah untuk menggugat Sjamsul Nursalim secara Perdata sesuai dengan MSAA.
“Ada hal yang tidak bisa dilupakan termasuk oleh KPK, Kejaksaan Agung telah memberikan SP3 atas dugaan adanya perkara korupsi terkait BLBI BDNI,” tandasnya.
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno