Menuju konten utama

Kronologi Vonis Bebas Mahkamah Syariah Aceh untuk Pemerkosa Anak

Mahkamah Syariah Aceh membebaskan pelaku pemerkosaan anak, DP, lantaran tidak menerima kesaksian korban maupun saksi.

Kronologi Vonis Bebas Mahkamah Syariah Aceh untuk Pemerkosa Anak
Ilustrasi kekerasan anak. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Seorang anak perempuan berusia 10 tahun di Lhoknga, Aceh menjadi korban pemerkosaan oleh ayah dan pamannya pada 2020 lalu. Kasus ini dibawa ke proses hukum, tetapi alih-alih keadilan yang didapat, Mahkamah Syariyah Aceh justru membebaskan keduanya.

Dua orang itu adalah MA yang merupakan ayah korban dan DP yang merupakan paman korban—nama pelaku disamarkan dalam tulisan untuk melindungi identitas korban yang masih kerabat. Pemerkosaan dilakukan keduanya dalam waktu yang berbeda.

Dari hasil penyidikan kepolisian yang dituangkan ke dalam dakwaan, DP melakukan perbuatan bejatnya pertama kali pada Selasa, 4 Agustus 2020 pukul 22.00 WIB. Saat itu, korban sedang tidur lalu DP datang dan membangunkan korban. DP mengajak korban masuk ke kamar, tetapi korban menolak lantas DP mengancam korban.

"Kalau kamu tidak mau nanti saya bacok pakai parang," ancam DP. DP lantas menyeret korban ke kamar. Di sana, DP memerkosa korban.

"Jangan mengatakan hal ini kepada bapakmu," kata DP kepada korban usai memerkosanya. Pemerkosaan itu terjadi lagi hingga tiga kali.

Sementara itu, duduk perkara pemerkosaan yang dilakukan oleh MA tak diketahui sebab Mahkamah Syariah Jantho tidak membuka dokumen persidangan.

Korban merupakan anak sulung dari 4 bersaudara. Pada April 2020, ibu korban meninggal dunia sehingga korban dirawat oleh neneknya. Sekitar 14 hari setelah kematian sang ibu, korban dijemput ayahnya untuk tinggal di Lhoknga. Namun, hanya 5 bulan ia tinggal bersama ayahnya untuk kemudian diantarkan lagi ke rumah neneknya.

Kepada sang nenek, korban bercerita bahwa DP yang merupakan kakak ayah korban telah memerkosa sambil mengancamnya. Korban pun mengaku kemaluannya sakit dan kelihatan sulit untuk duduk.

Seorang saksi juga juga menyatakan di muka hakim bahwa korban adalah anak yang ceria dan sering terlihat sedang bermain. Namun, pada suatu hari saksi melihat korban ketakutan dan menangis.

Saksi berusaha menggali keterangan dari korban, setelah dibujuk akhirnya korban mengaku bahwa DP pernah melakukan kekerasan seksual terhadapnya. Saksi kaget sekaligus sedih mendengar itu, lalu melaporkan pengakuan itu ke Polsek Lhoknga.

Oleh polisi, saksi dan korban diarahkan untuk melakukan visum di Puskesmas Lhoknga. Hasil visum di puskesmas ini membuktikan adanya tindakan kekerasan seksual pada korban.

Korban Alami Trauma

Dalam proses penyidikan, polisi menghadirkan Dosen Fakultas Psikologis Unversitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh untuk mewawancarai korban pada 23 November 2020. Selama satu jam pertama wawancara, korban hanya menangis dan memeluk neneknya, tak ada satu kata pun yang terlontar.

Ahli tersebut kemudian memberikan krayon dan membiarkan korban menggambar. Setelahnya baru ia menjadi lebih rileks dan mampu beradaptasi.

Kepada Ahli, korban mengaku bahwa ia telah diperkosa ayahnya, MA dan pamannya, DP. "Pada waktu malam ayah dan pada waktu siang paman, dan korban tidak ingat kapan dan berapa kali, yang jelas 3 sampai 4 kali," tertulis dalam dokumen putusan terhadap DP oleh Mahkamah Syariah Jantho.

Dari hasil pemeriksaan oleh ahli, dipandang dari cerita korban, intelegensia korban, dan kesadaran korban, ahli meyakini korban tidak berbohong.

"Bahwa korban terlihat mengalami ketakutan, trauma dan dampak kejadian yang dialaminya akan berdampak rentan ke depan," tertulis di dokumen putusan.

Vonis Bebas untuk Pemerkosa

Dalam tuntutannya, jaksa meminta kepada majelis hakim agar MA dan DP dihukum 200 bulan atau sekitar 16,5 tahun penjara atas perbuatannya. Menurut jaksa, keduanya telah terbukti sah dan meyakinkan melakukan pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan keluarga (mahram) dengannya.

Majelis Hakim Mahkamah Syariah Jantho yang diketuai oleh Hakim Muhammad Redha Valevi dan dianggotai oleh Hakim Fadhlia dan Hakim Putri Munawarah justru menjatuhkan vonis bebas kepada MA. Sebaliknya, majelis hakim menyatakan DP bersalah dan menjatuhi hukuman 200 bulan penjara atas perbuatannya.

MA dinilai tidak terbukti melakukan pemerkosaan sebagaimana yang didakwakan.

Namun, pengacara DP yakni Tarmizi Yakub dan Azwir yang berasal dari Kantor Hukum Law Office Tarmizi YK, S.H., M.H. & Associate masih meyakini kliennya tidak bersalah sehingga mengajukan banding ke Mahkamah Syariah Aceh.

Ketidakadilan bagi korban lantas makin lengkap pada 17 Mei 2021 saat putusan banding dibacakan. Majelis hakim yang diketuai oleh Hakim Misharuddin dan dianggotai Hakim H. M. Yusar membebaskan DP dari dakwaan pemerkosaan.

Majelis hakim berpendapat, dalam persidangan korban hanya mengangguk atau menggeleng— yang dianggap majelis hakim sebagai bahasa isyarat dalam dokumen putusan—saat ditanya Majelis Hakim Mahkamah Syariah Jantho soal pemerkosaan itu. Padahal korban bisa berbicara. Karenanya, hakim tidak menerima kesaksian korban di persidangan dan memandang bahwa penafsiran atas anggukan atau gelengan korban yang tertuang dalam berita acara hanyalah imajinasi semata.

"Mahkamah Syariah Aceh berpendapat kesaksian anak korban yang di depan sidang pada tanggal 12 Januari 2021 dengan bahasa isyarat tersebut tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti saksi. [Hal ini] karena anak korban dalam kesehariannya bukan seorang tuna wicara dan bukan pula pengidap tunarungu sehingga harus memberikan kesaksian dengan bahasa isyarat. Terjemahan yang diberikan dalam Berita Acara Sidang terhadap jawaban saksi anak korban merupakan imajinasi yang dapat dinilai tidak bersifat objektif dalam proses pembuktian," demikian tertulis dalam dokumen putusan Majelis Syariah Aceh.

Selain itu, majelis hakim Syariah Aceh memandang justru ada upaya penggiringan bahwa DP adalah pelaku pemerkosaan.

"Mahkamah Syariah Aceh menilai adanya upaya penggiringan yang mengarah kepada pembuktian bahwa Terdakwalah sebagai pelaku jarimah pemerkosaan terhadap saksi anak korban, cara pemeriksaan perkara yang demikian tidak dibenarkan dalam pemeriksaan perkara jinayat sesuai dengan ketentuan Pasal 162 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat," ujarnya yang tertulis dalam putusan.

Hakim pun menolak keterangan saksi-saksi sebab keterangan mereka hanya diperoleh dari keterangan korban. Selain itu, saksi tidak menerangkan indikasi terdakwa kerap melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma dan etika masyarakat seperti memeluk korban atau menggendong korban.

Atas hasil pemeriksaan ahli psikolog, majelis hakim menafsirkan korban berada dalam kondisi yang tidak stabil dan cenderung tidak percaya diri sehingga rentan untuk dipengaruhi orang lain.

Hakim juga menyangkal hasil visum. Menurut hakim, hasil visum tidak menunjukkan adanya bekas kekerasan seksual yang terjadi berulang-ulang. Selain itu hasil visum tidak menunjukkan bahwa terdakwa adalah pelakunya.

"Menyatakan Terdakwa ….. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan jarimah pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan mahram dengannya (……), sebagaimana dakwaan alternatif kedua, yang diatur dalam pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat," demikian tertulis dalam putusan hakim.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Restu Diantina Putri