tirto.id - Mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Dahlan Iskan akhirnya resmi ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada Kamis malam, (27/10/2016). Selepas menjalani pemeriksaan kelima yang berlangsung sejak pukul 09.00 WIB, Dahlan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur sekitar pukul 17.30 WIB.
Dahlan lalu dibawa dengan mobil tahanan dari halaman Kantor Kejati Jatim ke Rutan Medaeng pada pukul 19.20 WIB.
Dahlan ditahan atas dugaan keterlibatannya dalam kasus penjualan aset milik PT Panca Wira Usaha (PWU), badan usaha milik daerah (BUMD) yang berada di bawah pemerintah provinsi Jawa Timur. Ia sendiri menjabat sebagai Direktur PT PWU dalam kurun waktu 2000-2010.
Secara terpisah, Asintel Kejati Jatim Edy Firton menegaskan bahwa Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka, karena mengakui jika dirinya menyetujui penjualan aset itu dan menandatangani dokumennya.
"Pak Dahlan ditetapkan sebagai tersangka sekitar pukul 17.30 WIB. Sejak pemeriksaan pertama hingga kali ini, kami sudah mengajukan 127 pertanyaan yang 16 pertanyaan diantaranya dilontarkan pada hari ini (27/10). Dari 16 pertanyaan itu ada tiga pertanyaan sebagai tersangka," katanya.
Ditanya kemungkinan ada aliran dana yang masuk ke rekening Dahlan Iskan, ia mengatakan hal itu tergantung pada fakta di persidangan.
"Yang jelas, kami menahan tersangka untuk tujuan untuk mempercepat penyidikan, tidak sampai menghilangkan barang bukti, dan tidak bisa mempengaruhi saksi lain," katanya.
Menanggapi pernyataan Dahlan Iskan tentang dugaan politisasi dalam kasus PT PWU itu, ia menyatakan penyidikan yang dilakukan murni hukum.
Kasus Dahlan bermula dari penahanan terhadap Wisnu Wardana, mantan Ketua DPRD Surabaya, yang sempat menjabat sebagai Kepala Biro Aset dan Ketua Tim Penjualan Aset PT PWU. Ia disinyalir telah menjual aset-aset PT PWU berupa sebidang tanah dan bangunan di dua kota : Kediri dan Tulungagung, tanpa mengikuti prosedur yang berlaku.
Total aset Pemprov Jatim yang dicurigai menjadi sasaran manipulasi dalam kasus ini mencapai 33 aset.
Seluruh aset tersebut, yang dijual selama Dahlan menjabat sebagai direktur utama pada 2000-2010, dilepas di bawah standar Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Di sisi lain, penyidik Kejati Jatim masih menunggu audit BPKP untuk mendata total kerugiannya.
Saat penyidikan terhadap Wisnu Wardhana berlangsung, Kejati Jatim berhasil memperoleh nama Dahlan Iskan. Kuasa hukum Wisnu, Daud Budi, menyatakan bahwa Dahlan Iskan selaku Direktur Utama PT PWU-lah yang paling bertanggung-jawab atas kasus ini, dan bukan kliennya.
Wisnu Wardana akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejati Jatim pada 6 Oktober 2016. Seusai penahanan Wisnu, Kejati Jatim bergerak cepat dengan menerbitkan surat cekal (cegah tangkal) bagi Dahlan Iskan pada 7 Oktober 2016. Saat itu, Dahlan masih berstatus sebagai saksi.
Kejati Jatim segera mengeluarkan panggilan kepada Dahlan, namun mantan peserta Konvensi Capres Partai Demokrat itu mangkir pada panggilan pertama dan kedua. Akhirnya, pada panggilan ketiga, Senin, (17/10/2016), Dahlan hadir ke Kejaksaan Tinggi Jatim.
Dahlan lebih banyak bungkam selama pemeriksaan di Kejati Jatim. Belakangan, seusai ditetapkan sebagai tersangka, ia baru buka suara untuk membantah keterlibatannya.
“Biarlah sekali-kali terjadi seorang yang mengabdi setulus hati, tanpa dibayar, menjabat sebagai direktur perusahaan daerah yang saat itu belum punya apa-apa, harus jadi tersangka. Bukan karena makan uang atau menerima sogokan, bukan karena menerima aliran dana, tapi karena harus tanda tangan dokumen dari anak buah. Selebihnya nanti saja kalau saya sudah menunjuk penasihat hukum,” tandas Dahlan.
Untuk mengungkap kasus ini Kejati Jatim dikabarkan telah memanggil sebanyak 25 saksi, termasuk Alim Markus (mantan Komisaris PT Panca Wira Usaha) dan mantan gubernur Jatim Imam Utomo.
Kasus ini sempat terhenti dan baru diusut kembali akhir Juni 2016 lalu. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Maruli Hutagalung, meneken surat perintah untuk kembali melakukan penyidikan terhadap kasus yang melibatkan mantan menteri BUMN di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Putu Agung Nara Indra