tirto.id - Keputusan Polda Metro Jaya menahan presenter Augie Fantinus, pada Jumat malam (12/10/2018) mendapat respons beragam. Pada satu sisi, penahanan dinilai tepat karena aparat bertindak cepat mengusut kasus hoaks, namun pada sisi lain justru dianggap dapat mengancam hilangnya pengawasan publik terhadap kerja-kerja kepolisian.
Dalam kasus ini, Augie dianggap bersalah karena menyebar video yang isinya menuding anggota polisi sebagai calo Asian Para Games 2018. Berdasarkan unggahan Augie di akun Twitter @augiefantinus, kejadian itu berlangsung Kamis siang (11/10/2018) saat tiket pertandingan basket kursi roda sudah terjual habis.
Di akun Instagram @augiefantinus, Augie menulis keterangan bahwa ia sudah memiliki tiket. Ia mengaku baru datang ke Gelora Bung Karno untuk pertama kalinya menonton tim basket kursi roda Indonesia di GBK. Akan tetapi, ia kecewa karena ada polisi yang menjadi calo. Augie lantas mengunggah video saat ia mengejar polisi tersebut.
Sekitar pukul 14.50, ada pesan yang mengatasnamakan Augie disertai kontak penyiar radio tersebut tersebar di kalangan wartawan. Isinya adalah menginformasikan peristiwa penawaran tiket dari polisi yang di dalam pesan tersebut "seperti calo." Tujuan dari pesan yang beredar di kalangan para pewarta itu jelas: agar kasus ini diungkap karena dinilai bisa mempermalukan reputasi penyelenggaraan Asian Para Games dan menarik perhatian media internasional.
"Jika teman-teman media tertarik untuk meliput atau menayangkan videonya ini, bisa kontak saya ya," demikian yang tertulis dalam pesan yang mengatasnamakan Augie itu.
Masalahnya, beberapa jam kemudian, video tersebut dihapus dari akun Instagram @augiefantinus. Tidak ada klarifikasi yang dilakukan olehnya. Cacian pun bertubi-tubi datang di kolom komentar foto-foto Augie yang lain. Namun, video itu masih dapat dilihat di tayangan Youtube karena sudah tersebar luas.
Pada hari yang sama atau Kamis sore, para pewarta ramai-ramai mengklarifikasi video itu kepada polisi. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto pun angkat bicara. Ia mengaku tak akan mentolerir apabila ada pelanggaran yang dilakukan aparat penegak hukum.
"Sudah jelas bahwa Polri salah, ya harus ditindak," kata Setyo di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Polisi Nilai Augie Menyebar Hoaks
Malamnya sekitar pukul 20.00 WIB, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menegaskan polisi akan memanggil Augie untuk diperiksa. Malam itu juga Augie langsung dipanggil tanpa mau didampingi pengacara.
Hingga menjelang tengah malam, Augie tidak juga keluar dari ruang pemeriksaan Direktorat Tindak Pidana Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Ia ternyata langsung berstatus tersangka dan kemudian ditahan sekitar pukul 23.30.
"Ancamannya enam tahun, yang kedua menjadi pengalaman buat masyarakat jangan mudah menyebarkan kabar yang tidak benar. Jadi ini menjadi pengalaman, jadi contoh kalau memang tidak benar jangan disampaikan terutama di media online," kata Argo di Polda Metro Jaya.
Berdasarkan keterangan Augie dalam video, ia sempat menanyakan harga tiket yang dipegang polisi sebesar Rp100 ribu. Tidak diketahui tiket jenis apa yang dijual polisi tersebut. Setidaknya ada tiga jenis tiket, yakni tiket pertandingan setiap cabang olahraga sebesar Rp25 ribu. Tiket cabang olahraga final dan semi final Rp50 ribu. Terakhir tiket untuk menonton seluruh cabang pertandingan dalam sehari yakni Rp100 ribu.
Jika polisi menjual selain tiket ketiga dengan harga Rp100 ribu, tidak salah bila polisi dikatakan menjadi calo. Namun, Argo mengatakan polisi berniat mengembalikan tiket tersebut ke tempat penjualan dan bukan menjual pada Augie.
"Kemudian anggota ke tiket box lagi, anggota bawa lima tiket untuk refund, ternyata enggak bisa. Dan karena tidak bisa, tiba-tiba ada si Augie ini, karena dia mau nonton dan syuting, artinya dia merekam. Ngomong ke anggota ‘100 ribu?’ dijawabnya [anggota] kan enggak. Setelah itu diviralkan sama Augie bahwa polisi calo tiket," kata Argo.
Menanggapi kasus ini, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengaku setuju dengan penangkapan Augie Fantinus. Menurutnya, pengusutan kasus penyebaran hoaks yang bisa menimbulkan pencemaran nama baik memang harus ditindak dengan cepat.
Akan tetapi, Neta menilai polisi masih tebang pilih perihal penanganan kasus-kasus semacam itu. Neta mencontohkan kasus hoaks Ratna Sarumpaet. Meskipun menurutnya Ratna tak bisa dikenakan Undang-Undang ITE, tetapi penangkapan Ratna cenderung lama. Ratna baru ditahan dua hari setelah mengakui bila ia menyebarkan hoaks.
Contoh kedua adalah kasus soal ‘buku merah’ Indonesialeaks. Neta mengatakan, kasus itu bahkan lebih parah dari hoaks yang disebarkan Augie karena mengatakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian mendapat transferan dana dari terpidana kasus korupsi Basuki Hariman. Namun, sampai sekarang polisi tidak bergerak menangkap atau melaporkan pihak-pihak di Indonesialeaks.
"Memang polisi ini cenderung menindak cepat orang-orang yang tidak mempunyai power atau bekingan di belakangnya," kata Neta ketika dihubungi Tirto, padaSabtu (13/10/2018).
Pengamat masalah sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan tindakan Augie sebenarnya merupakan implikasi yang biasa pada era dunia digital. Apalagi sekarang ini orang-orang diminta untuk memberikan informasi soal pelanggaran terhadap pihak berwenang, bahkan bisa dapat imbalan Rp200 juta untuk laporan kasus korupsi.
"Apabila ada melihat sesuatu yang janggal dan tidak biasa, orang itu segera ingin mengabarkan, dan karena ada sarananya, makanya itu terjadi. Ini bisa terjadi pada siapa saja," kata Devie pada Tirto.
Akan tetapi, Devie tidak setuju apabila ada yang mengunggah pelanggaran itu di media sosial. Seharusnya, kata dia, laporan dilakukan langsung kepada pihak berwajib, misal polisi dan KPK. Bila tidak ditindaklanjuti barulah pelapor bisa mencari jalan lain dengan memviralkan di media sosial.
Memperlemah Pengawasan Kepolisian
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir menilai kasus ini harusnya diselesaikan melalui mediasi antara penegak hukum dengan Augie. Alasannya, polisi harus paham bahwa publik punya kewenangan untuk melakukan pengawasan.
Aparat mesti bisa membedakan, kata Mudzakir, mana tindakan masyarakat dalam rangka mengawasi penegak hukum, dan mana tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik orang lain.
"Ya polisi juga kan sering salah, makanya itu ada SP3. Dia enggak bisa membuktikan, dan terus gimana? Enggak mungkin juga [ditindak]" kata Mudzakir pada Tirto.
Menurut dia, bila memang Augie terbukti salah, polisi seharusnya melihat apakah motivasi Augie adalah bagian dari pengawasan atau memang ingin menjatuhkan pihak tertentu. Ia berharap polisi bisa bijaksana dan berperan juga dalam memperbaiki moral masyarakat.
"Ya seharusnya mereka [polisi] bijaksana juga menyikapi supaya justru dengan memproses orang yang bersangkutan itu pengawasan kepada kepolisian oleh masyarakat itu menjadi berkurang dan masyarakat takut melakukan pengawasan kepada polisi," kata Mudzakir.
Keterangan Mudzakir selaras dengan permintaan Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto. Setyo selalu meminta masyarakat untuk ikut mengawasi anggotanya yang melakukan pelanggaran. Setyo Wasisto pada Agustus 2017 bahkan pernah mengatakan jika Kapolri Jenderal Tito Karnavian meminta masyarakat "merekam" polisi yang berbuat salah.
Pernyataan itu sebagai respons atas kejadian pungutan liar yang terjadi di Sulawesi Selatan yang direkam oleh warga dan menjadi viral di media sosial. Setyo mengatakan sopir truk yang merekam akan mendapat apresiasi, sedangkan polisi tersebut akan diberikan sanksi.
Nyatanya, ketika informasi yang disampaikan keliru, masyarakat yang memberikan kabar itu pun tetap dijerat dengan hukuman pidana. Setidaknya, kasus Augie Fantinus menjadi yang terbaru.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz