Menuju konten utama

Kritik Sandiaga & Neraca Dagang Indonesia-Cina yang Kembali Tekor

Peneliti Indef Achmad Heri Firdaus menilai perjanjian dagang ACFTA yang diratifikasi Indonesia memperparah defisit dagang dengan Cina.

Kritik Sandiaga & Neraca Dagang Indonesia-Cina yang Kembali Tekor
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (12/11/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Dalam debat pamungkas Pilpres 2019 pada 13 April lalu, Sandiaga Uno melontarkan kritik terkait neraca perdagangan Indonesia dan Cina yang terus mencatatkan kerugian. Ia bahkan menyebut defisit transaksi dagang Indonesia dengan negeri tirai bambu lebih besar dari defisit neraca dagang RI pada 2018, yang mencapai 8,57 miliar dolar AS.

“Neraca dagang Indonesia masih tekor. Ini membuat kami trenyuh, sebab minus 8 miliar dolar [AS]. Dengan Cina, neraca dagang minus 18 miliar dolar,” kata Sandi kepada capres petahana Joko Widodo di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, pekan lalu.

Berdasarkan catatan Indef yang diolah dari data BPS, neraca dagang Indonesia dan Cina memang selalu memberikan kabar buruk, bahkan sejak era Susilo Bambang Yudhoyono. Di era pemerintahan Jokowi sendiri, sejak 2014 hingga 2018, defisit dagang mengalami tren peningkatan hingga 5,85 persen.

Pada kuartal pertama 2019, kabar buruk tersebut kembali terjadi. Berdasarkan data BPS yang dirilis di Jakarta, pada Senin (15/4/2019), perdagangan Indonesia dan Cina pada Januari hingga Maret 2019 sudah tekor hingga 4,753 miliar dolar AS.

Angka itu berasal dari selisih ekspor yang cuma mencapai 5,753 miliar dolar AS dengan impor yang tembus hingga 10,507 miliar dolar AS. Defisit ini lebih tinggi dibandingkan Maret 2018 yang sebesar 3,443 miliar dolar AS. Impor Indonesia pada waktu itu mencapai 10,223 miliar dolar AS sementara ekspornya sebesar 6,780 miliar dolar AS.

Angka tersebut tentu memprihatinkan. Sebab, Cina adalah salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Dua negara ini juga terikat dalam perjanjian dagang multilateral ASEAN-China Free Trade Area.

Ekonom senior Rizal Ramli, yang terang-terangan mendukung paslon capres-cawapres nomor urut 02 menilai, besarnya defisit yang diderita Indonesia disebabkan oleh kesalahan kebijakan Jokowi yang berlaku terhadap Cina.

Rizal mengatakan Jokowi terlalu takut bernegosiasi untuk menerapkan kebijakan anti-dumping. "Kita perlu bersahabat baik di mana-mana, tapi kita jangan mau dijajah dengan barang-barang impor dari mereka,” kata Rizal usai debat ke-5 Pilpres 2019.

Dumping merupakan politik dagang yang menerapkan harga jual luar negeri lebih rendah ketimbang dalam negeri. Hal itu dilakukan pemerintah Cina terhadap komoditas ekspornya di berbagai negara agar barang mereka lebih laku ketimbang produk asli negara tersebut.

Menurut Rizal Ramli, Prabowo adalah sosok yang mampu bernegosiasi dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, agar kebijakan anti-dumping bisa diterapkan Indonesia terhadap produk negeri tirai bambu itu.

“Diperlukan keberanian dalam dunia internasional dan keberanian dalam negosiasi. Pak Prabowo, setelah terpilih akan negosiasi langsung dengan Xi Jinping," kata dia.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Achmad Heri Firdaus menyampaikan, perjanjian dagang ACFTA yang diratifikasi Indonesia memang memperparah defisit dagang dengan Cina.

Kebijakan dumping yang diterapkan oleh pemerintah Cina juga membuat barang baku maupun barang jadi dari negara tersebut selalu laku di pasar Indonesia. Hal ini diperparah lagi oleh lemahnya daya saing industri Indonesia dalam menghasilkan barang-barang substitusi impor serta menggenjot ekspor.

“29 persen impor kita berasal dari Tiongkok, kalau disetop, khawatirnya malah merugikan sebagian produsen kita yang pakai bahan baku asal Tiongkok,” kata Heri saat dihubungi reporter Tirto.

Kendati demikian, Heri menganggap bahwa wacana yang dilontarkan kubu Prabowo-Sandiaga untuk menegosiasikan kebijakan anti-dumping, atau meninjau kembali perjanjian-perjanjian yang telah diteken Indonesia, terlalu muluk.

Untuk menekan laju defisit, menurut Heri, ada langkah-langkah taktis dan strategis yang bisa dilakukan Indonesia. Salah satunya, memperkuat produk-produk baku yang dimiliki Indonesia.

"Produk turunan seperti kelapa sawit, turunan karet, dan produk-produk yang kita miliki bahan bakunya bisa digenjot, tapi industri dalam negerinya perlu diperkuat," kata Heri menjelaskan.

Di sisi yang bersamaan, Heri juga mendorong agar pemerintah meninjau serta merumuskan

kembali persyaratan non tarif measure (NTM) atau aturan-aturan non tarif yang ditetapkan oleh para mitra dagangnya.

"Dengan demikian, makin banyak produk yang bisa menyaingi produk Cina di antaranya tekstil dan hasil tekstil, industri makanan-minuman, industri hasil tembakau, dan produk-produk agroindustri,” kata dia.

Bahaya di 2019

Heri menyampaikan, siapa pun paslon yang nantinya memenangkan pertarungan Pilpres 2019 pada 17 April, perlu bertindak cepat untuk membendung kerugian lebih besar akibat defisit dagang dengan Cina itu.

Apalagi, perang dagang dengan Amerika Serikat telah berimbas pada lambatnya laju pertumbuhan ekonomi negeri tersebut. Saat ini, Cina telah memangkas target pertumbuhannya pada kisaran 6,0 hingga 6,5 persen pada 2019.

Bersamaan dengan itu, pemerintahan Xi Jinping juga memfokuskan kebijakan fiskalnya untuk menstimulasi perekonomian dalam negeri.

UOB Global Economics & Market memperkirakan bahwa pertumbuhan negeri tersebut pada tahun ini akan melemah menjadi 6,3 persen. Ketika pertumbuhan dan aktivitasnya melambat, maka kontraksi ekspor di negara-negara Asia diproyeksikan juga bakal meningkat.

Namun, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suharyanto belum bisa memastikan apakah perlambatan tersebut telah berdampak pada penurunan kinerja ekspor Indonesia dan apakah akan berdampak pada perdagangan di bulan-bulan selanjutnya.

“Saya enggak bisa ambil kesimpulan umum karena tadi ekspor impor ada beberapa volume yang naik, tapi ada yang turun. Impor utamanya misal yang harus dilihat meski turun hanya tertuju ke komoditas tertentu pengaruh ekonomi global, ya, tapi BPS enggak bisa split karena yang jelas ada penurunan dan pattern-nya berbeda-beda,” kata Suharyanto.

Baca juga artikel terkait DEFISIT PERDAGANGAN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz