tirto.id - Usai dilantik sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggantikan Ignasius Jonan, Arifin Tasrif langsung punya bayangan soal tantangan berat yang perlu ia selesaikan.
Salah satu yang perlu perhatian khusus adalah defisit perdagangan minyak dan gas (migas). Apalagi, dalam dua tahun terakhir, besarnya impor migas disebut jadi biang kerok yang membebani neraca dagang dan turut memperlebar defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan migas Indonesia memang masih tekor. Sepanjang Januari-September, defisit perdagangan migas sebesar 6,44 miliar dolar AS.
“Kita mengalami CAD, kemudian defisit neraca perdagangan yang harus jadi perhatian kita semua. Kita harus kerja sama, terutama teman-teman di ESDM,” ucap Arifin dalam sambutannya di Kementerian ESDM, Rabu (23/10/2019).
Pernyataan mantan Duta Besar Indonesia untuk Jepang itu memang penuh optimisme. Namun perlu diingat, persoalan migas bukan perkara enteng dan bisa diselesaikan bahkan dalam waktu lima tahun, terutama urusan minyak mentah dan minyak hasil produksi.
Defisit perdagangan minyak Indonesia tercatat terjadi sejak tahun 2003 dan sempat menyentuh 27,6 miliar dolar AS pada tahun 2013—terburuk sepanjang sejarah pemerintahan RI.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan salah satu opsi menekan defisit bisa berupa mengurangi konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri.
Namun, menurutnya, hal tersebut hampir mustahil dilakukan dalam waktu dekat karena akan bertentangan dengan efek pertumbuhan ekonomi yang diinginkan pemerintah.
Opsi terakhir, menurutnya, adalah menggenjot lifting minyak dan gas dalam negeri. Pemerintah, kata dia, harus melakukan eksplorasi atau penemuan sumur-sumur baru yang bisa menghasilkan produksi minyak cukup besar.
Namun, hal itu pun tak bisa selesai dalam kurun satu periode. Sebab, butuh waktu 5-6 tahun agar sebuah sumur bisa berproduksi sejak eksplorasi.
Dananya pun tak murah dan pemerintah harus mampu menggandeng perusahaan migas bermodal besar.
Di sisi lain, investasi migas di Indonesia dinilai kurang menarik dan membuat investor lebih memlih Amerika Latin serta negara tetangga seperti Myanmar dan Thailand yang izinnya lebih sederhana.
“Menekan bahkan menolkan defisit migas enggak bisa secepat itu. Tidak cukup waktu satu pemerintahan. Kalau fokusnya ke sana, itu misleading,” ucap Komaidi kepada reporter Tirto, Kamis (24/10/2019).
Komaidi juga bilang kalau Indonesia kini dipacu waktu untuk segera menemukan cadangan baru. Pasalnya, saat ini Indonesia hanya punya dua sumur andalan yaitu di Blok Rokan, Riau, dan Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, Jawa Timur.
Selebihnya hanya tersisa sumur-sumur kecil dan usianya sudah tua sehingga cadangannya tak banyak.
Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi terus turun dari 829 ribu barel minyak per hari (BOPD) di 2016 menjadi 775 BOPD di Januari 2019, meskipun untuk gas nasibnya agak membaik karena angkanya naik di kisaran 1,3 juta barel setara minyak per hari.
Hal ini sejalan dengan anjloknya jumlah blok migas di Indonesia dari 312 wilayah kerja (WK) di 2015 menjadi 255 WK di 2017.
Anggota Indonesia Mining Energy Forum (IMEF) sekaligus perwakilan Kadin Bidang Energi Baru Terbarukan (EBT) Fauzi Imron mengatakan, Indonesia memang sudah jarang melakukan eksplorasi dalam empat tahun belakangan.
Musababnya, kata dia, adalah skema investasi gross split berbeda dengan cost recovery, pembagian hasil dilakukan usai memotongnya dengan biaya produksi sehingga seakan-akan perolehan pemerintah lebih kecil dari yang diharapkan.
“Kunci kita sukses eksplorasi itu karena ada yang mau investasi. Gros split menguntungkan pemerintah tapi kalau enggak ada investasi, ya nol. Jadi perlu di-review kembali aturan ini,” ucap Fauzi kepada wartawan saat ditemui di Kementerian ESDM Rabu (23/10/2019).
Kepala Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas, Dwi Soejipto, menyebut pemerintah sudah berupaya mempertahankan produksi minyak.
Salah satunya menggunakan enhance oil recovery (EOR) untuk menguras sisa-sisa minyak yang belum terserap sehingga produksi lapangan migas yang sudah menurun bisa kembali naik.
Lalu ada juga strategi untuk mencapai target produksi 1 juta barel per hari (bopd) dan peningkatan produksi gas dua kali lipat. Namun, target tersebut dipatok hingga tahun 2030.
Untuk merealisasikannya, tegas Dwi, dibutuhkan ekplsorasi besar-besaran terutama yang menyasar lapangan-lapangan terbuka ketimbang lokasi yang berdekatan dengan sumber minyak yang sudah ada.
Langkah ini membutuhkan banyak modal sehingga menuntut iklim investasi yang layak. Lantaran itu, pihaknya berkomitmen membenahi aturan-aturan yang menghambat investasi di bidang migas.
“Akan ada peningkatnya kalau ada cadangan besar. Kami akan lakukan eksplorasi masif. Semoga target 1 juta ini bisa dicapai 2030,” ucap Dwi dalam konferensi pers di SKK Migas, Kamis (24/10/2019).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana