tirto.id - Komisaris Utama salah satu BUMN terbesar di Indonesia PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali jadi sorotan usai mengusulkan "Kementerian BUMN dibubarkan." Pernyataan ini ia sampaikan dalam video yang diunggah akun Youtube AmerikaBersatu, pekan lalu.
Menurutnya, selama berada di bawah kementerian, pengelolaan perusahaan pelat merah akan selalu kurang optimal karena dibayangi kepentingan politik. Salah satu contohnya adalah jabatan direksi dan komisaris di Pertamina yang sangat kental dengan lobi-lobi politik dan bagi-bagi jabatan.
"Direksi-direksi semua lobinya ke menteri karena yang menentukan menteri. Komisaris pun rata-rata titipan kementerian-kementerian," kata Ahok.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi juga sependapat dengan mantan Gubernur Jakarta ini. Menurutnya selama ini memang penempatan komisaris dan direksi BUMN sarat konflik kepentingan. Kementerian BUMN selama ini hanya jadi endorser.
"Endorser itu lebih powerful ketimbang penilaian kinerja dalam pengangkatan komisaris dan direksi BUMN," katanya, dikutip dari Antara.
Menanggapi tudingan ini, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan "komisaris di BUMN ya semua berasal dari Kementerian BUMN, termasuk pak Ahok juga dari kita." "Namanya juga BUMN, penugasannya dari Kementerian BUMN."
Sebagai ganti kementerian, Ahok menyebut superholding company. "Kita membangun semacam Temasek (superholding Singapura), semacam Indonesia Incorporation," katanya. Dengan begitu ratusan BUMN yang ada saat ini dapat dikelola dengan profesional dan jauh dari kepentingan politis.
"Jangan Buru-Buru"
Arya Sinulingga mengatakan superholding memang "ide besar." Ia pun mengatakan "itu mimpi besar kita." Namun menurutnya itu tak dapat direalisasikan sekarang. "Kita jangan buru-buru. Lihat dulu apakah ini efektif enggak, sekarang ini kan masih sendiri-sendiri. Jadi masih jauh pemikiran mengenai superholding," katanya di Jakarta, Rabu.
Menurutnya Kementerian BUMN sedang fokus memperbaiki rantai pasok di Indonesia melalui klasterisasi dan sub-holding. "Pak Erick (Erick Thohir, Menteri BUMN sekarang) ingin memastikan semua jalan dulu end to end supply chain antar BUMN-BUMN itu. Kami sampaikan juga di DPR mengenai strategi klaster-klaster. DPR melihat itu adalah langkah yang terbaik saat ini," kata Arya.
Arya menyebutkan klaster pertanian dibuat untuk membangun rantai pasok dari hulu ke hilir antara BUMN satu dengan lainnya. Sementara klaster farmasi-kesehatan dengan menggabungkan rumah sakit BUMN.
Konsep superholding sudah ada sejak 1998 ketika masih era Soeharto. Saat itu Menteri Negara Pendayagunaan BUMN dijabat Tanri Abeng. Karena pada masa tersebut situasi politik tidak kondusif, konsep superholding tenggelam begitu saja. Ide ini kembali muncul di era menteri sebelum Erick, Rini Soemarno, tapi tak juga terealisasi.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) sekaligus Associate Partner BUMN Research Group Lembaga Management (LM) FEB UI Toto Pranoto mengatakan sementara di Indonesia jadi angin lalu karena pemerintah "enggak fokus" dan kursi menteri "enggak pernah ada yang sampai selesai," konsep superholding sukses dibentuk oleh Malaysia melalui Khazanah Nasional Berhad dan Temasek di Singapura.
"Di Malaysia, superholding Khazanah dipimpin oleh chairman yang ex officio dijabat Perdana Menteri. Tujuannya supaya menghindarkan intervensi dari pihak mana pun. Kemudian chairman menunjuk siapa yg menjadi CEO Khazanah. Tidak ada Kementerian BUMN di Malaysia, fungsi digantikan oleh superholding Khazanah," katanya kepada reporter Tirto, Jumat (18/9/2020).
Di Malaysia bahkan sang Perdana Menteri Mahathir Mohammad sendiri yang meminta Tanri Abeng menjelaskan konsepnya. Superholding Malaysia akhirnya terbentuk pada 2003 dan "berkembang besar seperti sekarang," kata Toto.
Ia sendiri sepakat dengan gagasan ini, tapi perlu banyak hal yang dipersiapkan. Pada era Rini Soemarno (2014-2019), itu dimulai dengan membuat beberapa sectoral holding sebagai fondasi. Saat sectoral holding sudah mapan, maka barulah superholding memungkinkan untuk dibentuk.
"Di masa Erick Thohir tujuan itu agak direm. Maksudnya Kementerian BUMN tidak lagi kejar ide superholding sebagai prioritas, namun lebih optimalkan holding yang sudah ada dan beberapa BUMN lain dalam model klaster," katanya. Alasannya sama seperti Arya, bahwa sebelum superholding dibentuk, sebaiknya holding yang sudah ada diperkuat dan dilaksanakan sampai tuntas.
Di sinilah kekeliruan pernyataan Ahok, katanya. Ia ujug-ujug bicara soal pembubaran tanpa menjelaskan apa saja yang harus dipersiapkan.
"Ahok kurang narasi dan penjelasan yang komprehensif tentang pembubaran Kementerian BUMN ini, sehingga kesannya menjadi pernyataan yang terlalu bombastis," katanya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino