tirto.id - Imajinasi lama tentang kiamat tampaknya perlu direvisi. Pasalnya, alih-alih hujan meteor atau letusan gunung berapi supermasif, hal paling riil yang mudah dibayangkan dan paling mungkin terjadi justru bermula dari air: di Pulau Jawa, elemen utama kehidupan tersebut diramalkan akan habis pada 2040—21 tahun dari sekarang.
Prediksi soal malapetaka tersebut pertama kali disiarkan BBC Indonesiaawal Agustus lalu. Menurut media tersebut, prediksi bahwa Jawa akan kehilangan hampir seluruh sumber air—prediksi yang didasarkan pada kajian resmi pemerintah—menjadi salah satu alasan pemindahan ibukota ke Kalimantan. Terang saja di balik bencana tersebut ada ancaman mengerikan: 150 juta penduduk Jawa akan kekurangan air, bahkan untuk sekadar kebutuhan makan dan minum.
“Ketersediaan air sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan air bagi penduduk di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara,” tulis laporan Tirto, Indonesia Darurat Kekeringan dan Krisis Air Bersih.
Meski baru sebatas prediksi atau ramalan, keterangan mengenai kondisi Jawa 22 tahun mendatang tidak muncul kemarin sore. Dua tahun lalu, Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menyebut di musim kemarau 2017 kekeringan akan melanda sekitar 105 kabupaten/kota, 715 kecamatan, serta 2.726 kelurahan atau desa di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Kala itu, Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, bahkan menyatakan bahwa sejumlah daerah di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sudah mengalami defisit air sejak tahun 1995.
Kekurangan air hanyalah satu di antara seabrek masalah yang berkaitan dengan cara kita mengelola lingkungan. Menurut para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebagaimana dikutip BBC Indonesia, ada sejumlah faktor pemicu krisis air, mulai dari perubahan iklim, pertambahan penduduk hingga alih fungsi lahan. Pendek kata, krisis air hanyalah satu dampak krisis iklim yang tengah kita hadapi.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengestimasi bahwa kita hanya punya waktu hingga 2030 untuk mencegah dampak krisis iklim yang merusak, termasuk krisis air, bencana besar, dan hilangnya tempat tinggal. Untuk mengurangi emisi karbon yang menyebabkan krisis iklim, Indonesia, sebagai salah satu negara yang menyumbang emisi karbon terbesar di dunia, tidak bisa lagi menunda penanganan krisis iklim.
Disadari atau tidak, persoalan krisis iklim tak bisa dilepaskan dari urusan tata kelola ruang atau lahan. Di negeri ini, sektor tata guna lahan dan hutan adalah penyumbang emisi karbon terbesar, yaitu sebanyak 47.8%, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perlindungan hutan melalui tata kelola lahan yang baik dan transparan adalah kunci mengatasi krisis iklim di Indonesia.
Dalam konteks inilah kehadiran Kebijakan Satu Peta (KSP), yang tengah digojlok pemerintah, menjadi kebutuhan yang niscaya.
Tumpang Tindih Pemanfaatan Lahan Berujung Konflik
Pada periode kepemimpinannya yang pertama, Presiden Joko Widodo menetapkan percepatan Kebijakan Satu Peta sebagai salah satu program prioritas pelaksanaan Nawa Cita. Dengan adanya kebijakan tersebut, pemerintah berharap perencanaan pembangunan, penyediaan infrastruktur, penerbitan izin dan hak atas tanah, serta berbagai kebijakan nasional lainnya dapat mengacu pada satu data spasial yang akurat.
Rencana pembangunan, sebaik apa pun itu, bisa jadi berujung nonsense jika dibayangi berbagai masalah. Diketahui, banyaknya peta tematik di Indonesia yang dibuat oleh kementerian/lembaga berdasarkan peta dasar yang sumbernya beragam telah menimbulkan banyak permasalahan. “Terutama untuk proses perencanaan pembangunan secara nasional,” kata Hasanuddin Zainal Abidin, Ketua Badan Informasi Geospasial sekaligus Ketua Tim Pelaksana Kebijakan Satu Peta.
“Kebijakan Satu Peta ini lah yang akan dijadikan dasar perencanaan untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di masa depan,” kata Jokowi saat peluncuran Geoportal Kebijakan Satu Peta di Hotel Bidakara Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi sama-sama menjadi perhatian pemerintah, dan di saat bersamaan kepedulian terhadap lingkungan tak bisa dikesampingkan. Kementerian PPN/Bappenas memasukkan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Menteri PPN Bambang P.S. Brodjonegoro menyatakan, PRK akan didorong untuk menjadi salah satu basis utama pembangunan Indonesia di masa mendatang.
"Dalam RPJMN 2020-2024, saya mendorong pelaksanaan aksi penurunan emisi GRK sebagai bagian yang terintegrasi, tidak terpisahkan, dan dilaksanakan secara seimbang dengan pembangunan ekonomi dan sosial," kata Bambang Selasa (12/2).
Libatkan Publik
Krisis iklim berdampak langsung pada manusia dan semua makhluk yang bergantung pada air, pangan, tempat tinggal yang aman, serta kebutuhan pokok lainnya. Hal ini membutuhkan perencanaan tata kelola lahan yang lebih adil, mengedepankan perlindungan hutan, dan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat.
Karena itu, saat Kebijakan Satu Peta diluncurkan, Adi Pradana, Manajer Tata Kelola Lahan Berkelanjutan dari World Resources Institute (WRI) Indonesia menyarankan pemerintah agar melakukan tiga hal demi hasil yang optimal.
Pertama, pelibatan publik dan penggunaan teknologi terkini dalam percepatan pemetaan skala detil; kedua, menyiapkan mekanisme pelibatan publik dalam proses Kebijakan Satu Peta, terutama sinkronisasi penyelesaian tumpang tindih; ketiga, memastikan urusan Informasi Geospasial menjadi prioritas dalam kerangka regulasi perangkat daerah.
“Presiden Joko Widodo harus segera menyiapkan strategi pasca-2019, apakah akan terus Kerja Kerja Kerja dengan cara yang sama, atau Kerja Bersama dengan melibatkan publik secara transparan dan inklusif, demi mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan bebas konflik,” kata Adi.
Saat ini, kolaborasi terbukti menjadi kunci di setiap lini. Bahwa Kebijakan Satu Peta diharapkan membawa banyak kebaikan, seperti kata Adi, publik juga musti ikut ambil bagian di dalamnya. Bukankah pembangunan yang memperhatikan aspek sosial dan lingkungan juga menjadi urusan bersama?
Pemerintah tak bisa sendirian mengatasinya.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis