tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menilai, tahapan Pemilu 2019 berpotensi akan terganggu apabila polemik larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legislator (caleg) tidak kunjung diselesaikan.
Menurut Komisioner KPU RI Hasyim Asy'ari, gangguan itu akan muncul apabila Kementerian Hukum dan HAM tidak mau menempatkan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota Legislatif sebagai peraturan perundang-undangan yang sah. Draf PKPU itu juga sudah diserahkan KPU RI ke Kemenkumham, Senin (4/6/2018).
"Kalau misalkan [Kemkumham] tidak mau mengundangkan, ya ada kekosongan hukum. Tidak akan ada proses pencalonan. Berarti akan ada satu tahapan yang kemudian terganggu yaitu tahap pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten atau kota," ujar Hasyim kepada wartawan di Kemenkumham, Jakarta, Selasa (5/6/2018).
Tahap pendaftaran caleg akan berlangsung 4-17 Juli 2018. Setelah itu, tahap pendaftaran bakal capres dan cawapres dimulai 4-10 Agustus 2018. Masa kampanye pemilu 2019 direncanakan berlangsung 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Kemudian, pemungutan suara akan diadakan 17 April 2019.
Persoalan muncul karena draf PKPU itu memuat larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg di Pemilu 2019. Kemenkumham memandang PKPU itu melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu jika masih mengatur larangan mantan napi koruptor menjadi caleg.
Wacana pelarangan mantan koruptor menjadi caleg digagas KPU setelah beberapa calon kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi saat proses Pilkada 2018 berjalan.
KPU beralasan, larangan mantan napi korupsi menjadi caleg dibuat untuk mendorong terciptanya penyelenggaraan negara yang bersih. Akan tetapi, DPR dan pemerintah menolak KPU menerbitkan aturan larangan mantan napi korupsi menjadi caleg.
Menkumham Yasonna Laoly bahkan sempat berkata enggan menandatangani draf PKPU itu. Akan tetapi, Hasyim menyatakan, PKPU Pencalonan Anggota Legislatif sebenarnya sudah sah meski belum dimasukkan Kemenkumham sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Peraturan, UU, sah sejak ditandatangi oleh pihak yang punya otoritas untuk membentuk itu. Peraturan KPU yang punya wewenang untuk membentuk siapa? KPU. Simbolik tandatangannya siapa? Ketua KPU. Maka sejak itu [PKPU] sah. Kemkumham ini tugasnya mengundangkan, menempatkan peraturan perundangan di dalam lembaran atau berita negara sebagai penanda [aturan] sudah mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum," ujar Hasyim.
KPU pun menyarankan pemerintah merevisi UU Pemilu atau mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), agar larangan mantan koruptor menjadi caleg tak dianggap melanggar beleid di atasnya. Jika revisi UU Pemilu atau Perppu tak mau dikeluarkan, KPU bersikukuh mempertahankan konsep aturan soal napi koruptor itu.
"Kalau tidak [terbit Perppu atau revisi UU] ya peraturan KPU sudah disahkan dan tinggal menunggu perundangannya saja," ujar Hasyim.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Alexander Haryanto