tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana menghadirkan dua mantan menko perekonomian, yaitu Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli dalam persidangan dugaan tindak pidana korupsi pemberian surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Dua ekonom senior itu dijadwalkan akan memberikan kesaksian pada Kamis (5/7/2018).
“Untuk semakin memperkuat dan kepentingan proses pembuktian kasus BLBI ini, sidang selanjutnya akan dilakukan Kamis pagi, 5juli 2018, saksi-saksi yang akan dihadirkan diantaranya Kwik Kian Gie, Edwin Gerungan, Rizal Ramli, I Putu Gede Ary Suta, dan lain-lain,” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulis, Selasa (3/7/2018).
Febri menerangkan, pemanggilan para ekonom tersebut untuk memperkuat pembuktian dalam persidangan, Senin kemarin (2/7/2018). Saat itu, KPK menghadirkan Raden Eko Santoso Budianto, Stephanus Eka Dasawarsa Sutantio, Dira K Mochtar, dan Thomas Maria selaku mantan petinggi BPPN. Dalam persidangan tersebut, para saksi menyatakan Sjamsul Nursalim belum memenuhi syarat pelunasan utang.
“Kewajiban SN [Sjamsul Nursalim] belum "final closing" artinya Sjamsul Nursalim belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang diatur MSAA [Master Settlement Aqcuisition Agreement]. Sedangkan, terkait penyerahan aset dari bank BDNI terdapat aset berupa hutang petambak sebesar Rp4,8 triliun yang saat diserahkan kepada BPPN dalam kondisi macet," sebut Febri.
Selain itu, KPK juga mendapat keterangan dari para saksi bahwa utang petambak masing-masing mencapai Rp135 juta. Hal itu disampaikan oleh saksi Dira. Fakta tersebut berbeda dengan keterangan Syafruddin yang menyatakan utang petambak masing-masing sekitar Rp100 juta. Namun, angka Rp135 juta dibahas hingga berubah menjadi Rp100 juta dalam rapat KKSK.
“Akhirnya SK KKSK tanggal 29 Maret 2001 menyatakan jumlah utang petambak masing-masing adalah sebesar Rp100 juta sebagaimana yang diusulkan Terdakwa," kata Febri.
Selain itu, KPK menemukan fakta bahwa ada beberapa petambak udang tidak mengetahui jumlah utang kepada BDNI karena yang menerima uang adalah PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wahyuni Mandira yang juga milik Sjamsul Nursalim.
Jaksa KPK mendakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung menyalahgunakan wewenang dengan menerbitkan surat keterangan lunas piutang Bank Dagang Nasional Indonesia kepada petani tambak. Ia didakwa menerbitkan SKL bersama-sama dengan Ketua KKSK Dorojatun Kuntjoro-jakti, pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istri Sjamsul, Itjih S. Nursalim.
Syafruddin didakwa menerbitkan surat keterangan lunas untuk piutang Sjamsul Nursalim, padahal Sjamsul belum membayar lunas kewajiban kepada pemerintah. Akibat tindakan tersebut, Syafruddin dianggap melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya Sjamsul Nursalim yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara sejumlah Rp4,58 triliun.
Atas perbuatan tersebut, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz