tirto.id - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengkritik rencana orang tua menikahkan seorang siswi SMP dengan Siswa SD di salah satu kabupaten di Jawa Timur. Rencana pernikahan itu muncul usai siswi SMP itu mengalami kehamilan tidak direncanakan yang diduga akibat berhubungan dengan temannya yang masih siswa SD.
"Upaya perkawinan yang diupayakan bukanlah solusi yang tepat. Assessment secara keseluruhan terkait kondisi anak sangat penting dilakukan untuk mencari solusi ke depannya," kata ketua KPAI Susanto lewat keterangan resminya yang diterima Tirto, pada Senin (28/05/2018).
Menanggapi kasus di Jawa Timur itu, Susanto berharap ada peningkatan sensitivitas soal perlindungan anak di kalangan hakim-hakim di lingkungan pengadilan agama.
"Dampak dari perkawinan usia anak sangat luar biasa, yakni putusnya pendidikan, kemiskinan yang berulang, hingga aspek kesehatan yang tidak hanya berdampak bagi anak tersebut, namun juga bagi sumber daya manusia bangsa Indonesia," kata Susanto.
Susanto mengatakan evaluasi terhadap pengasuhan yang dilakukan terhadap dua anak tersebut jauh lebih penting untuk dilakukan. Menurut dia, pengasuhan tidak melulu soal pemenuhan kebutuhan fisik melainkan juga kebutuhan psikologis. Selain itu, orang tua juga harus memberikan edukasi kesehatan reproduksi secara baik ke anak-anak mereka.
KPAI menyayangkan maraknya kasus pernikahan anak yang terjadi sejak Mei 2017 lalu hingga hari ini di Indonesia.
Berdasarkan data dari UNICEF, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, prevalensi perkawinan anak di Indonesia mencapai 23 persen. Dengan kata lain, 1 dari 5 perempuan berusia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertama pada usia di bawah 18 tahun.
"Usia perkawinan ideal adalah 21 tahun sebagaimana yang disebut dalam UU Perkawinan," kata Susanto.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Addi M Idhom