tirto.id - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengecek langsung kondisi SDN Sadah, di Keserangan, Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, Banten, pada Kamis (7/12/2017). Kunjungan ini sebagai tindak lanjut terkait viralnya surat “Sekolahku Bekas Kandang Kerbau” yang ditulis Devi, seorang siswi SD yang kemudian dipanggil oleh Bupati Serang, Tatu Chasanah.
Bupati Serang, Tatu Chasanah pada Senin (4/12/2017) mengumpulkan warga dan Komite Sekolah SD Negeri Sadah terkait istilah “sekolah kandang kerbau” di Kecamatan Ciruas. Dalam pertemuan itu, Tatu menanyakan kepada siswi SD bernama Devi soal suratnya yang viral di media sosial karena kondisi sekolah yang memprihatinkan.
Tindakan Bupati Serang tersebut kemudian menuai kritik dari sejumlah kalangan. Pemanggilan siswi SD tersebut dinilai sebagai preseden buruk terhadap partisipasi anak di Indonesia karena berdampak negatif terhadap psikologi anak. Sehingga, Devi bersama keluarganya pun lebih memilih diam saat audiensi dengan kepala daerah tersebut.
“Tujuan pengawasan langsung KPAI adalah untuk melihat kondisi dan fakta yang sebenarnya, apakah sesuai dengan yang ditulis Ananda D dalam suratnya atau malah kondisinya lebih memprihatinkan jika didasarkan pada delapan standar nasional pendidikan,” kata Retno dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Jumat (8/12/2017).
Berdasarkan pemantauan lapangan, kata Retno, KPAI menilai kondisi sarana prasarana SDN Sadah masih jauh dari standar minimum, jika didasarkan pada delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Misalnya ukuran ruang kelasnya yang rata-rata hanya 4 x 4 meter berlantai plester, WC (toilet) hanya satu untuk seluruh siswa, guru dan karyawan, dan tidak memiliki ruang perpustakaan. Ruang guru juga di ruangan yang ukurannya sekitar 2 x 4 meter dengan hanya beralaskan karpet berwarna hijau, tak ada meja dan kursi. Kapasitas listrik sekolah juga hanya 450 watt.
Seluruh ruang kelas, kecuali ruang kelas enam merupakan bangunan semi permanen dengan bahan bangunan seadanya. Atap sekolah yang terbuat dari asbes menjadikan ruangan kelas menjadi sangat panas ketika matahari sudah tinggi, terutama ruang kelas empat yang atapnya hanya berjarak sekitar dua jengkal dari kepala orang dewasa.
Menurut Retno, mayoritas ruang kelas menggunakan papan tulis hitam dengan kapur dan ada dua ruang kelas yang menggunakan whiteboard. Selain itu, ada lapangan cukup luas di belakang sekolah yang berhadapan dengan sawah warga, hanya saja lapangan tersebut terganggu dengan pembuang sampah warga yang berada di sisi kanan lapangan dengan sampah yang menumpuk dan menimbulkan aroma tak sedap.
Jarak teras rumah penduduk yang terdekat dengan teras kelas hanya sekitar dua meter, sehingga proses pembelajaran memang sangat tidak kondusif. Bahkan, kata Retno, ada ruang kelas yang bersebelahan dengan dapur warga sehingga tercium aroma masakan saat pembelajaran sedang berlangsung, karena ada ventilasi dapur yang langsung berhubungan dengan ruang kelas.
“Tidak ada kantin sekolah, anak-anak jajan saat istirahat adalah di warung-warung yang dibuka penduduk di teras rumahnya. Jajanan didominasi oleh gorengan dan makan semacam ciki,” kata Retno.
Sementara ruang kelas 1, 2, 3, dan 5 satu deret, sedangkan ruang kelas empat berada di sisi kanan dan ruang kelas enam terpisah cukup jauh, bahkan harus melewati kandang bebek jika hendak menuju ke ruang kelas enam dan ruang Tata Usaha.
“Kandang bebek milik warga cukup luas dan berisi ratusan bebek, sehingga menimbulkan aroma yang kurang sedap juga,” kata Retno.
Karena keterbatasan ruangan, kata Retno, maka ruang kerja kepala sekolah untuk sementara menumpang di ruang tamu warga yang disekat. Warga sekitar memang bergotong royong membantu berjalannya sekolah, seperti meminjamkan tanah wakaf untuk ruang kelas enam, meminjamkan gudang padi untuk ruang kelas empat dan ruang guru.
Sebagian tanah dan lapangan sekolah juga dipinjamkan warga. Komputer dan printer sekolah juga diletakkan di rumah salah satu guru yang kebetulan jaraknya dekat dengan sekolah, sehingga semua administrasi yang memerlukan untuk diketik dilakukan dari rumah tersebut.
Padahal, kata Retno, sebelum digusur, SDN Sadah memiliki sarana prasarana yang memadai untuk pendidikan. Seperti ruang kelas yang luas, ruang guru, ruang kepala sekolah, memiliki 5 WC (toilet), serta punya ruang perpustakaan dan sejumlah koleksi buku.
Karena itu, kata Retno, demi kepentingan pendidikan bagi anak-anak tersebut, KPAI merekomendasi agar lokasi SDN Sadah yang sekarang untuk segera dibebaskan lahannya, karena pemilik tanah sudah menyetujui harga tim penilai warga. Tanah yang bisa dibeli sekitar 1.300 meter persegi, menurut warga cukup asalkan gedung sekolah dibangun dua lantai dengan menghadap ke sawah.
Selain itu, KPAI mengusulkan pembebasan lahan dianggarkan dalam APBD Kabupaten Serang. Namun, pembangunan gedung dapat menggunakan APBD Provinsi Banten dan APBN melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk itu, KPAI akan menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan ditembuskan kepada pihak-pihak terkait.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz