tirto.id - Tahun ini merupakan masa penuh catatan bencana banjir. Sejak awal 2016 hingga pertengahan tahun, banjir melanda banyak negara di berbagai benua. Kota-kota di negara-negara maju seperti Perancis, Inggris, Amerika Serikat (AS) pun tak luput dari bencana ini. Selain AS dan Eropa, banjir pastinya melanda kota-kota di negara Afrika hingga Asia, termasuk Cina yang masuk daftar negara-negara dengan risiko dan langganan banjir.
Sejak Juni pemerintah Cina berjibaku menangani persoalan banjir yang melanda kota-kota hingga jantung perekonomian mereka seperti Beijing hingga Shanghai. Sebanyak 32 juta orang di 26 provinsi di Cina terkena dampak banjir. Media BBC menulis, banjir Cina baru-baru ini telah menelan korban 186 orang dan sebanyak 45 orang hilang, 1,4 juta orang mengungsi, dan 56.000 rumah rusak.
Kota-kota di Cina dan negara-negara di Asia lainnya hampir setiap tahun menghadapi persoalan yang sama karena punya risiko yang tinggi dari banjir. The Centre for Economic Performance (CEP) mencatat selama 2003-2005 tercatat banjir yang melanda 1.868 kota di 40 negara di dunia, dari jumlah itu terdapat 53 banjir besar yang membuat sedikitnya 100.000 mengungsi dalam setiap kejadian.
Dalam banyak studi kasus banjir di dunia terus terjadi dan risikonya makin melebar. Dampak banjir setiap tahun terus bertambah. Di sini lah pertanyaan besar dimulai, apakah manusia masih mau terus-terusan bersahabat dan berlangganan dengan banjir?
Kota Langganan Banjir
Dalam hasil studi yang dilakukan oleh World Resources Institute (WRI) pada 2015, disebutkan bahwa perubahan iklim meningkatkan potensi banjir di dunia di masa mendatang. Pemicu utamanya adalah meluapnya sungai akibat intensitas curah hujan yang tinggi, termasuk di negara maju dan berkembang.
WRI memberikan gambaran saat ini risiko penduduk di negara maju seperti Irlandia yang terkena banjir per tahun hanya 2.000 orang, tapi pada 2030 nanti diperkirakan akan menjadi 48.500 orang kena dampak banjir. Sedangkan untuk negara berkembang seperti Pakistan, saat ini risiko penduduk yang terkena banjir hanya 715.000 orang per tahun, tapi pada 2030 nanti jumlahnya bisa meningkat jadi 2 juta orang. Artinya, kota-kota di negara yang saat ini relatif punya risiko banjir yang rendah menghadapi kenaikan risiko di masa depan.
Bagaimana dengan kota di negara-negara yang selama ini sudah masuk sebagai kawasan langganan banjir? Dalam studi WRI, terdapat 15 negara di dunia yang 80 persen populasi penduduknya rawan terdampak dari banjir. Posisi teratas atau yang paling menjadi langganan banjir adalah India, dengan 4,84 juta penduduk rawan kena banjir, disusul oleh Bangladesh yang mencapai 3,48 juta penduduk. Cina di urutan ketiga dengan risiko populasi kena banjir 3,28 juta orang. Sedangkan Indonesia mencapai 640.000 orang atau urutan nomor keenam di bawah Pakistan.
Media livescience.com juga pernah membuat daftar kota-kota di dunia yang rawan dan jadi langganan banjir. Data-data ini klop dengan yang daftar negara yang rawan banjir. Kota yang jadi langganan banjir umumnya kota-kota pesisir dan terbanyak ada di Asia khususnya India, Cina, dan beberapa negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Kota Guangzhou, Cina menempati ururan teratas. Kota di selatan Cina ini memang banyak dibelah oleh sungai-sungai besar, termasuk Pearl River yang bermuara ke laut Cina Selatan.
Kota Mumbai dan Kalkuta di India membuntuti di urutan kedua dan ketiga. Bagaimana dengan kota di Indonesia? Jakarta tentunya masuk sebagai kota langganan dan rawan banjir. Jakarta masuk daftar urutan ke-11 dari 20 daftar kota di dunia. Jakarta berada di bawah New Orleans, AS. Studi dari Bank Dunia juga pernah mencantumkan 10 kota yang risiko kerugian akibat dampak banjir paling tinggi termasuk Guangzhou, Miami, New York, New Orleans, Mumbai, Nagoya, Tampa, Boston, Shenzen, dan Osaka. Untuk empat besar dari kota-kota tadi, total kerugiannya sudah setara dengan 43 persen dari perkiraan kerugian banjir secara global. Kota-kota ini memang lebih banyak di pesisir.
Media voxeu.org, menulis kota-kota pesisir yang tinggi permukaan tanahnya rendah dari permukaan laut lebih rawan terkena banjir. Dari 1.868 kota yang diteliti soal banjir, kota yang ketinggiannya di atas 10 meter dari permukaan laut, risiko mengalami banjir besar jauh lebih rendah, sedangkan di bawah itu risikonya jauh lebih tinggi kena banjir besar. Selain ketinggian, banjir yang melanda kota-kota di dunia juga dipengaruhi iklim lokal, topografi, kepadatan penduduk, dan lainnya. Terjadinya banjir memang peristiwa komplek termasuk penanganan pasca dampak banjir yang biasanya memakan biaya besar.
Dampak Banjir
Banjir hanya imbas dari dampak peristiwa yang terkait cuaca yang melanda sebuah daerah selain angin topan, longsor, kemarau, dan lainnya. Dalam 20 tahun terakhir, sejak 1995-2015 ada 2,3 miliar orang terkena dampak banjir angka ini setara 56 persen dari bencana yang terjadi karena persoalan yang bertalian dengan cuaca. Peristiwa tanah longsor hanya berdampak pada nasib 1,1 miliar orang. Tercatat, sebanyak 157.000 orang meninggal karena banjir selama 20 tahun terakhir.
Berdasarkan data UN Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) selama 20 tahun telah terjadi 3.062 bencana banjir di dunia. Global Water Partnership (GWP) mencatat setiap tahun dampak kerugian akibat banjir di kota-kota di Cina, India, dan AS mencapai 10 miliar dolar AS dari hanya menghitung akibat kerusakan properti.
Dalam studi Bank Dunia 2013 lalu, kerugian banjir di masa mendatang hingga 35 tahun ke depan akan jauh lebih tinggi dari saat ini. Kerugian banjir per tahun pada 2005 masih sekitar 52 miliar dolar AS, diperkirakan akan meningkat menjadi 52 miliar dolar AS pada 2050, dengan hanya menghitung dampak sosial ekonomi saja. Ini belum menghitung kerugian dari properti dan lainnya. Sehingga upaya mengatasi banjir yang menyeluruh saat ini cara yang tepat dilakukan oleh banyak negara.
Negara atau kota yang sudah masuk daftar pelanggan banjir tak bisa lagi menghindari dari kewajiban membangun sistem pengendalian banjir yang lebih serius. Sementara itu kota-kota yang selama ini aman dari banjir juga harus waspada, bahwa lingkungan di bumi ini sudah berubah karena perubahan iklim. Pembenahan lingkungan kota dan sistem pengendali banjir yang lebih mumpuni harus disiapkan. Jangan sampai ada kota-kota yang masuk dalam daftar baru para pelanggan banjir. Ingat, kota yang menjadi pelanggan banjir tak hanya punya risiko kerugian ekonomi, tapi juga sosial hingga politik.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti