Menuju konten utama

Kota yang Menolak Tidur

Jakarta memang ibarat Yin dan Yang. Ada pagi, ada malam. Begitu pula dunia kerjanya. Jika pada siang hari penduduk Jakarta diperkirakan 11,5 juta orang, kalau malam ada sekitar 9,5 juta orang penduduk. Kebanyakan adalah para pekerja. Mulai dari pekerja shift malam, hingga mereka yang memang kerja di industri hiburan yang baru mulai aktif pada malam hari.

Kota yang Menolak Tidur
Kemacetan lalu lintas di Jl. Sudirman, Jakarta Pusat menjadi pemandangan rutin sehari-hari. TIRTO/Andrey Gromico.

tirto.id - Orang-orang New York, pernah menepuk dada dengan jemawa. Mereka bangga tinggal di kota yang dijuluki “tak pernah tidur”. Selalu ada kehidupan di New York, jam berapapun kamu terjaga. "Ada sesuatu pada udara New York yang membuat tidur seperti perbuatan yang sia-sia," kata penulis Simone Beauvoir, yang bahkan bukan orang Amerika Serikat.

Tapi kini para New Yorker itu tak bisa bangga sendirian. Para Homo Jakartanensis pun bisa ikutan mendongakkan dagu. Kota ini nyaris, atau bahkan memang, tak pernah tidur.

Pukul 12 malam atau 1 dini hari, saat orang-orang di Purbalingga, Trenggalek, atau Polewali Mandar sudah tertidur dan bermimpi separuh jalan, para pekerja di selatan Jakarta masih memadati ruas jalan yang menghubungkan Jalan Ampera Raya dan TB Simatupang. Kebanyakan dari mereka menanti bus jurusan Terminal Kampung Rambutan, untuk kemudian pulang ke Bogor. Di ruas jalan yang sama, pukul 3 pagi, jalanan sudah macet oleh mobil dan motor yang entah mereka mau ke mana.

Jakarta memang ibarat Yin dan Yang. Ada pagi, ada malam. Begitu pula dunia kerjanya. Jika pada siang hari penduduk Jakarta diperkirakan 11,5 juta orang, kalau malam ada sekitar 9,5 juta orang penduduk. Kebanyakan adalah para pekerja. Mulai dari pekerja shift malam, hingga mereka yang memang kerja di industri hiburan yang baru mulai aktif pada malam hari.

Suatu kali, penulis spesialis dunia remang, Moammar Emka pernah melakukan survei iseng dan suka-suka, karenanya tak perlu dipercaya secara penuh. Katanya, di buku Jakarta Undercover 2: Karnaval Malam, ada sekitar 42.000 pekerja seks yang beroperasi pada malam hari di Jakarta.

Dengan pengandaian ala penulis dongeng, dia menghitung rata setiap kupu-kupu malam ini bisa mendapatkan Rp500 ribu sehari. Maka paling tidak ada Rp210 miliar uang yang berputar dalam semalam. Itu belum termasuk jasa informal seperti tukang parkir, penjual obat kuat, supir taksi, tukang ojek, hingga penjual makanan.

Data dari Emka itu memang bisa saja meragukan. Tapi setidaknya menurut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga 2015, penerimaan pajak hiburan Pemprov DKI Jakarta mencapai Rp604,42 miliar. Angka itu merupakan kenaikan hingga 22,96 persen jika dibandingkan 2014. Untuk 2016, penerimaan pajak hiburan diperkirakan mencapai Rp700 miliar. Dari target tersebut, hiburan malam diharapkan menyumbang sekitar 28 persen atau hingga Rp201 miliar.

Dari data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta menyebutkan, hingga Mei 2016, terdapat 1.563 tempat rekreasi dan hiburan yang terdaftar.

Tentu saja, para pekerja malam di Jakarta ini tak melulu mereka yang bergerak di industri hiburan. Ada pula pekerja yang memang mendapat giliran kerja malam, atau memang lebih produktif di malam hari. Seperti supir taksi, satpam, tenaga kebersihan, buruh pabrik, hingga pedagang asongan. Kebanyakan dari mereka tinggal di kota satelit seperti Bogor, Depok, Tangerang, maupun Bekasi.

Meski berbeda profesi, mereka memiliki kesamaan yakni: sama-sama membutuhkan transportasi yang aman, nyaman, dan beroperasi selama 24 jam. Pemprov DKI Jakarta sudah sadar akan kebutuhan itu. Maka sejak 2014 silam, ada beberapa koridor Trans Jakarta yang beroperasi selama 24 jam. Namun, itu tentu tidak cukup, karena kereta yang sering jadi andalan para pekerja yang tinggal di kota penyangga, belum beroperasi 24 jam hingga sekarang.

Tak usah terlalu kecil hati. London, kota metropolitan yang sudah membangun jaringan kereta bawah tanah sejak 1863, baru akan mengoperasikan kereta 24 jam pada Agustus mendatang. Itupun baru ada pada hari Jumat dan Sabtu. Sadiq Khan, Walikota London yang baru terpilih, berkata bahwa nantinya kereta 24 jam ini akan beroperasi Senin hingga Jumat, bahkan tak menutup kemungkinan 7 hari dalam seminggu.

Jelas, sasaran penumpangnya beragam. Menurut Pemerintah London, ada sekitar 22.000 pekerja shift malam pada hari Jumat dan Sabtu. Kebanyakan adalah pekerja dengan upah rendah, seperti karyawan rumah makan, tenaga kebersihan, dan tenaga keamanan.

Karena sebagian besar adalah pekerja yang tinggal di luar London, mereka terpaksa memakai bus malam untuk pulang. Ongkos transportasi mereka membengkak hingga 170 persen. Maka, pemerintah London memutuskan untuk mengoperasikan kereta 24 jam ini pada Jumat dan Sabtu. Tentu juga untuk mengakomodir para pecinta pesta hingga pagi.

"Kota 24 jam ini tidak hanya untuk mereka yang suka pesta hingga pagi, melainkan untuk kegiatan ekonomi yang bervariasi. Kereta malam ini akan membuat perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya menjadi lebih aman, lebih cepat, dan lebih murah bagi para pekerja shift malam," ujar Keith Foley, yang menjadi penanggung jawab kereta malam di London.

Kegiatan ekonomi di malam hari ini mulai ditanggapi serius oleh kota-kota yang memang tak pernah tertidur. Sebutannya adalah night economy. Amsterdam di Belanda adalah pionir soal ini. Kota ini bahkan mempunyai dua Walikota. Selain Walikota "normal" yang bekerja pada jam biasa, mereka juga mempekerjakan Walikota Malam. Orang pertama yang mengemban amanah ini adalah Mirik Milan. Tugasnya adalah memaksimalkan potensi ekonomi malam hari, sekaligus tetap menjaga kenyamanan para warga lain.

Amsterdam, yang kerap dijuluki surga dunia para pecandu pesta pora, punya dunia malam yang bernilai ekonomi tinggi. Dalam setahun, perputaran uang dunia malam di sana mencapai 470 juta dolar, dan mempekerjakan sekitar 13.000 orang. Kehidupan malam di Amsterdam juga mengundang sekitar 5,2 juta turis pada 2014.

"Budaya tengah malam itu penggerak utama kegiatan ekonomi kota ini," ujar Mirik yang kini menjadi penasihat untuk kota-kota seperti Tokyo dan Rio de Janeiro yang ingin meniru konsep serupa.

"Orang-orang tengah malam ini biasanya mereka yang muda, berpendidikan, kreatif, punya jiwa wirausaha yang tinggi, dan mereka yang bekerja di industri kreatif," kata Mirik lagi.

Karena ini konsep yang masih baru, maka Amsterdam masih terus menguji coba konsep ideal. Mereka ingin tak hanya tempat hiburan yang buka 24 jam, tetapi juga perpustakaan, kantin mahasiswa, atau tempat kebutuhan sekolah para pelajar. Begitu pula soal konsep keamanan.

Meski terhitung rendah, ada setidaknya 300 tindak kekerasan dalam setahun di Amsterdam. Salah satu usaha untuk menguranginya adalah menggandeng perusahaan elektronik raksasa, Philips, untuk menyediakan penerangan di sepanjang jalan. Sedangkan untuk kereta 24 jam di London, pihak perusahaan kereta menyediakan patroli British Transport Police dalam gerbong, juga kamera CCTV dalam jumlah yang banyak.

Konsep macam ini mulai diterapkan di banyak kota. Selain Amsterdam, Tokyo, juga Rio, ada pula New York, Belgrade, Madrid, Barcelona, dan tentu saja London.

"Ada banyak kota yang ingin menjadi kota 24 jam. Namun, yang harus diingat, kota ini harus tetap aman dan nyaman bagi mereka yang bekerja, tinggal, dan tidur di dalamnya. Tidak mudah memang, tapi harus diusahakan," kata Mirik.

Begitu pula di Jakarta. Kota ini sepertinya memerlukan banyak perbaikan jika ingin menjadi kota 24 jam. Memang sepertinya sudah berjalan seperti itu, tanpa disadari banyak orang. Ini artinya, Pemprov perlu menyediakan angkutan umum yang aman, nyaman, dan tetap murah.

Jakarta memang belum sebesar nama-nama kota 24 jam lain. Fasilitas dan infrastrukturnya juga belum memadai. Namun, soal kehidupan selepas petang, kota ini sama derajatnya. Nyaris tak pernah tertidur.

Dan mungkin Jakarta memang tak akan pernah tertidur.

Baca juga artikel terkait JAKARTA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti