tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyidik dugaan kasus suap di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. KPK menggandeng Inspektorat Jenderal Kemenkeu dan Ditjen Pajak dalam giat ini.
Wakil Ketua KPK Alexander Marmawata mengatakan suap dalam perkara ini dilakukan agar wajib pajak (WP) mendapatkan keringanan pembayaran pajak. Alex mengatakan dugaan kasus suap pajak ini menyentuh nilai puluhan miliar.
“Kalau mau rendah [membayar pajak], ada upahnya. Tentu itu semuanya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,” ujar Alex kepada wartawan di Jakarta, Selasa (2/3/2021).
KPK akan menangani dugaan suap, sementara Itjen dan Ditjen Pajak akan memeriksa ulang nominal pajak yang sudah diperiksa dan diduga tidak valid.
KPK mendaku sudah mengantongi tersangka dari pihak Ditjen Pajak, akan tetapi mereka belum mau mempublikasikannya. Begitu juga dengan pihak WP. Alex mengatakan tim penyidik masih terus bekerja mengumpulkan bukti.
“Saya tidak bisa menyampaikan sekarang supaya teman-teman penyidik nanti juga dalam bekerja enggak merasa terhalangi dengan informasi. Bisa jadi kalau saya sampaikan sekarang WP-nya sudah siap-siap [menghindar],” ujar Alex.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai perpajakan memang lahan basah untuk bertindak culas. Hal tersebut dibuktikan dengan kerap terjadinya tindak koruptif di sektor ini.
Kasus yang 'paling mentereng' dalam satu dekade terakhir tentu saja Gayus Tambunan. Gayus terbukti menyalahgunakan wewenang sebagai pegawai Ditjen Pajak saat menangani pajak PT Surya Alam Tunggal dan negara merugi Rp570,92 juta. Gayus juga terbukti melakukan penyuapan polisi 10 ribu dolar AS, hakim 40 ribu dolar AS, dan memberikan keterangan palsu terkait kepemilikan Rp28 miliar di rekening pribadi.
Akibat perbuatannya ia divonis tujuh tahun penjara—jauh lebih ringan 13 tahun dari tuntutan jaksa—pada 20 Januari 2011.
Kasus lain, pada 2017, Handang Seokarno selaku Kasubdit Bukti Permulaan Penegakan Hukum Ditjen Pajak Handang Soekarno divonis 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider empat bulan penjara. Ia terbukti menerima suap Rp1,9 miliar.
Pada 2019, KPK juga menahan lima tersangka yang salah satunya berstatus Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing 3 Kanwil Jakarta Khusus, bernama Yul Dirga, terkait kasus suap restitusi pajak PT Wahana Auto Ekamarga (WAE) tahun pajak 2015 dan 2016. Yul diduga menerima Rp1,8 miliar dari Komisaris Utama PT WAE Darwin Maspolim.
Zaenur berpendapat bahwa reformasi birokrasi di Kemenkeu semestinya dibarengi dengan pertanggungjawaban pimpinan untuk menekan tindakan koruptif.
“Jika seorang pegawai melakukan korupsi, pimpinannya harus dicopot, yang mana atasannya langsung. Kalau [pelaku] eselon 3 maka yang dicopot eselon 2 dan seterusnya. Itu untuk memastikan pimpinan melakukan pengawasan kepada anak buah dan anggotanya,” ujar Zaenur kepada reporter Tirto, Rabu (3/3/2021).
Lebih lanjut Zaenur menilai Kemenkeu mesti mengatur kembali manajemen anti suap para pegawai serta meningkatkan kembali komitmen para petugas pajak serta pemeriksaan LHKPN pegawai Ditjen Pajak.
“Ini bukan kasus baru dan menunjukkan Kemenkeu masih harus meningkatkan lagi pengawasan terhadap para pegawainya,” ujar Zaenur.
Setelah KPK membuka informasi penyidikan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menggelar konferensi pers pada Rabu kemarin. Ia mendaku sudah mengetahui kasus tersebut sejak 2020 dan kini pegawai yang terlibat telah dinonaktifkan. Sri Mulyani menegaskan lembaganya mendukung langkah KPK.
“Yang bersangkutan telah mengundurkan diri dan sedang diproses dari administrasi ASN,” ucap Sri Mulyani. “DJP juga sedang melakukan penelitian terhadap wajib pajak yang diduga terkait,” tambahnya.
Meski tetap menerapkan asas praduga tidak bersalah, Sri Mulyani tak mentoleransi tindakan koruptif dan pelanggaran kode etik di lembaganya.
“Apabila dugaan tersebut terbukti, ini merupakan suatu pengkhianatan bagi seluruh jajaran DJP dan Kemenkeu yang tengah berfokus melakukan pengumpulan penerimaan negara,” ucap Sri Mulyani.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino