Menuju konten utama

Kontroversi TNI Mengajar: Guru Saja Masih Banyak Bermasalah

"Guru-guru yang lulusan LPTK saja yang sudah dilatih empat tahun masih bermasalah, apalagi TNI yang tidak punya latar belakang."

Kontroversi TNI Mengajar: Guru Saja Masih Banyak Bermasalah
Prajurit TNI mengajar mengaji anak-anak di masjid Desa Bodag, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Senin (23/7/2018). ANTARA FOTO/Siswowidodo

tirto.id - Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggaet TNI Angkatan Darat sebagai guru di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T) dipertanyakan banyak kalangan. Ragam tanggapan ini muncul terutama menyangkut kapasitas tentara untuk mengajar di sekolah.

Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar menilai keputusan tersebut tidak tepat. Ia mengatakan sebaiknya tentara fokus latihan perang ketimbang mengajar di sekolah.

"Dia tugasnya latihan buat perang. Buat apa ada pendidikan guru, kenapa mesti tentara yang diangkat, ya, kan?" ujar Haris kepada reporter Tirto, Jumat (1/3/2019).

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation itu menyarankan Kemendikbud untuk lebih memberdayakan guru honorer daripada menggaet tentara. Menurutnya, tentara hanya bisa diberdayakan sebagai pengajar jika terjadi situasi darurat.

"Ngaco lah Kemendikbud itu, enggak penting [keputusan menggaet tentara]," ujar Haris.

Pelibatan TNI untuk menjadi tenaga pengajar juga berpotensi menyalahi peraturan perundang-undangan. Direktur Imparsial Al Araf mengatakan kegiatan tentara selain perang harus melalui keputusan politik dari Presiden.

"Jadi kalau tadi ditanya soal guru, maka basis dasarnya adalah apakah pelibatan itu didasarkan keputusan politik? Kalau tidak, itu suatu kekeliruan," kata Al Araf saat ditemui di Komnas HAM, Jumat (1/3/2019).

Keputusan politik yang dimaksud Al Araf salah satunya melalui Peraturan Presiden (Perpres). Namun Presiden harus mengasumsikan pelibatan TNI untuk mengajar hanya bersifat sementara.

"Berikutnya, apakah Presiden dalam menilai pelibatan TNI mengajar itu menganggap situasi dan kondisinya memang di daerah tersebut tak memiliki kapasitas guru yang ada?" tanya Al Araf.

Dampak dari Pemerataan Guru Belum Optimal

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, juga sepakat bahwa pelibatan tentara dalam pendidikan tidak bisa sembarangan. Ubaid menyarankan Kemendikbud untuk mencari alternatif lain.

"Guru-guru yang lulusan LPTK saja yang sudah dilatih empat tahun masih bermasalah, apalagi TNI yang tidak punya latar belakang dan pengalaman mendidik di institusi sipil yang mengedepankan dialogis bukan instruktif," ujar Ubaid kepada reporter Tirto.

Ubaid menilai kebijakan Kemendikbud ini sebagai dampak belum optimalnya pemerataan guru di daerah. Ia mengatakan ada kesenjangan dari segi kuantitas maupun kualitas guru yang tersedia di daerah dengan kota.

"Harus ada evaluasi guru, baik dari segi kuantitas dan kualitas. Lalu pemerintah membuatkan roadmap kebijakan untuk pemerataan dan peningkatan kualitas guru," usulnya.

Dengan evaluasi menyeluruh, kata dia, akan terlihat daerah mana saja yang kekurangan dan kelebihan guru.

Sementara itu, Kemendikbud berdalih keputusan merekrut tentara menjadi tenaga pengajar karena dilatarbelakangi masih ada wilayah-wilayah yang sulit diakses guru biasa.

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Pengajar Kemendikbud, Supriono, mengatakan para personel TNI AD ini akan diberikan pelatihan sebelum mengajar di wilayah yang ditentukan.

"Ini jaga-jaga, karena ketika sekolah tidak ada gurunya atau siswa ingin belajar tidak ada gurunya, justru mereka lah [TNI AD] yang memfasilitasi," kata Supriono.

Pada tahap pertama, Kemendikbud menyiapkan 900 personel TNI AD dari Batalyon 303 Raider Garut dan Batalyon 600 Raider Balikpapan. Mereka akan diperbantukan mengajar di Nunukan dan Malinau, Kalimantan Utara.

Baca juga artikel terkait TNI MENGAJAR DI PERBATASAN atau tulisan lainnya dari Gilang Ramadhan

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Alfian Putra Abdi, Haris Prabowo & Riyan Setiawan
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Mufti Sholih