tirto.id - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan produk mi terkenal asal Korea positif mengandung babi. Hal tersebut diketahui setelah BPOM melakukan pengambilan sampel dan pengujian terhadap beberapa mi instan asal Korea.
Dari beberapa produk yang diuji oleh BPOM, terdapat empat produk mi instan positif terdeteksi mengandung DNA babi.
Keempat produk asal Korea yang mengandung babi tersebut yakni Samyang (mi instan U-Dong), Samyang (mi instan rasa Kimchi), Ottogi (mi instan Yeul Ramen) dan Nongshim (mi instan Shin Ramyun Black.
BPOM meminta agar mi instan yang diimpor oleh PT Koin Bumi tersebut segera ditarik dari pasaran. Berdasarkan peraturan BPOM nomor 12 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Pangan Olahan, pangan olahan yang mengandung bahan tertentu yang berasal dari babi harus mencantumkan keterangan berupa tulisan “Mengandung Babi” atau gambar babi berwarna merah pada kemasan produk sebagai informasi bagi konsumen terutama bagi umat Muslim.
Sebagian besar makanan Korea memang mengandung babi --makanan yang dilarang untuk dikonsumsi menurut hukum Syariah-- menurut yeshalal.co.kr. Di negara asal mi Samyang tersebut, cukup sulit untuk menemukan produk berlogo Halal.
Memisahkan antara produk Halal dan tidak Halal bukanlah menjadi fokus dalam program pemerintah setempat. Hal itu karena Korea Selatan bukanlah negara yang mayoritas Muslim seperti Indonesia, sehingga tak ada pengetatan pada produk terkait Halal dan tak Halal.
Penduduk Muslim di Korea Selatan hanya sekitar 150 ribu – 200 ribu penduduk atau di bawah 0,5 persen dari total penduduk Korea yang mencapai 50 juta penduduk. Mayoritas penduduk Korea Selatan adalah Kristen yang dalam ajaran agamanya memperbolehkan untuk mengonsumsi daging babi.
Namun melihat geliat pasar produk Halal yang mulai meningkat serta proyeksi bahwa pasar makanan Halal global pada 2019 akan mencapai 21,2 persen dan meningkatnya wisatawan Muslim yang mengunjungi negara tersebut, Korea Selatan kemudian mulai melirik pasar produk Halal.
Agar dapat mengekspor produk ke negara Muslim, maka dibutuhkan sertifikat Halal. Korea Selatan pun mulai memberi label Halal pada produk-produk mereka. Label Halal juga mulai menghiasi restoran-restoran di Korea Selatan sebagai salah satu cara untuk terus menarik minat wisatawan Muslim.
Awalnya Korea menentukan lembaga yang bertanggung jawab dalam memberi label halal atau sertifikasi Halal. Jika di Indonesia ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau di Malaysia ada Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim), maka di Korea ada Korean Muslim Federation (KMF).
Sertifikasi Halal pada makanan di Korea Selatan akan didapat dengan mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada lembaga sertifikasi Halal dengan melengkapi berbagai dokumen. Setelah itu, pihak lembaga sertifikasi akan melakukan audit internal dan inspeksi. Pada tahap ini permohonan akan diputuskan diterima atau ditolak.
Jika ditolak maka harus kembali ke tahap awal yakni mengajukan sertifikasi dengan melengkapi berbagai dokumen yang disyaratkan. Jika diterima maka langkah selanjutnya adalah melakukan pembayaran sesuai dengan aturan yang berlaku.
Setelah proses pembayaran, pihak lembaga sertifikasi akan melakukan kunjungan ke perusahaan atau pabrik tempat pembuatan produk makanan tersebut dan melakukan eksternal audit. Memastikan jika produk tersebut benar-benar Halal.
Hasil dari peninjauan dan audit eksternal itu berupa laporan akhir yang kemudian akan diputuskan apakah produk itu Halal atau tidak. Setelah ditetapkan sebagai produk halal baru dikeluarkan sertifikat halal oleh lembaga tersebut.
Sertifikat Halal yang dikeluarkan tersebut berlaku selama satu tahun dan harus diperbarui setiap tahunnya. Mereka juga akan terus mengontrol produk-produk yang berlabel Halal. Jika dalam perjalanan ada yang melakukan pelanggaran misalnya dengan tidak melakukan pembaruan atau ditemukan pelanggaran lainnya, maka sertifikat Halal yang sudah diberikan dapat dibatalkan.
Aturan dalam memproduksi makanan Halal yakni harus dilakukan terpisah dan tak boleh dicampur dengan produk lainnya. Mulai dari bahan dasar produk, proses produksi makanan, proses penyimpanan dan distribusi dari pabrik juga dilakukan secara terpisah dan tak boleh terkontaminasi dengan alur produksi produk lainnya.
Sayangnya, meski pemerintah Korea sudah mulai melirik produk Halal tetapi regulasi dan penegakan hukum yang berkaitan dengan produk Halal masih sangat minim. Hingga saat ini, label Halal di Korea Selatan masih penuh masalah. Hal itu lantaran yang memberi layanan label Halal tak hanya KMF tetapi ada juga perusahaan swasta lainnya.
Banyak restoran atau produk makanan yang mulai diberi label halal, tetapi dipalsukan. Polisi-polisi Korea tak jarang menangkap perusahaan yang kedapatan menjual makanan dengan logo Halal palsu. Sayangnya, perusahaan-perusahaan tersebut akan dengan mudah kembali membuka bisnisnya dengan kembali menjual makanan dengan logo Halal palsu karena masih minimnya regulasi mengenai produk Halal di Korea.
Ada begitu banyak asosiasi terkait Islam yang diselenggarakan oleh penjual produk berlogo Halal namun palsu dengan memanfaatkan ketidaksempurnaan hukum Korea mengenai produk Halal. Mereka membuat asosiasi, memberi tanda atau label Halal pada produk mereka sendiri, jika tertangkap polisi, mereka nantinya hanya akan mengganti nama asosiasi mereka dan kembali melakukan bisnis yang sama. Ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah Korea.
“Dalam situasi saat ini di mana jumlah Muslim yang tinggal di Korea dan turis Muslim yang berkunjung ke Korea terus meningkat, kejahatan ini dapat secara serius merusak reputasi Korea, karena makanan Halal penting bagi kehidupan religius mereka (umat Muslim)....,” ujar salah seorang Polisi Korea.
Saat ini pemerintah Korea tengah berupaya untuk memperkenalkan KMF sebagai lembaga sertifikasi produk Halal di Korea. Malaysia dan Singapura adalah dua negara yang sudah mengakui produk makanan Korea yang berlabel Halal dari KMF.
Sedangkan untuk Indonesia sendiri, pemerintah Korea tengah berusaha untuk memulai negosiasi soal sertifikasi Halal lokal agar produknya dapat diterima di negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, menurut salah seorang pejabat Kementerian Pertanian Korea Selatan.
Sebelum tercapai kesepakatan, kasus mi Samyang mengandung babi ini menyeruak sehingga membuat kaum Muslim untuk sementara tidak mengkonsumsimnya. Pemerintah Korea pun harus bekerja lebih keras lagi jika memang ingin masuk dalam pasar produk Halal di negara mayoritas Muslim, termasuk di Indonesia.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti