Menuju konten utama

Kontroversi Kewajiban Sterilisasi Transgender di Jepang

Kebijakan sterilisasi diterapkan oleh pemerintah Jepang kepada para transgender yang ingin mengganti status jenis kelamin di dokumen resmi negara.

Kontroversi Kewajiban Sterilisasi Transgender di Jepang
Persiapan para pemain Teater Manekin sebelum pentas. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Para transgender Jepang tampaknya bakal menanggung beban hidup yang lebih berat. Pada Januari 2019, Mahkamah Agung Jepang memutuskan aturan yang mewajibkan transgender menjalani proses sterilisasi ketika mengajukan penggantian status jenis kelamin sebagai hukum yang sah secara konstitusional. Pihak pengadilan beralasan keputusan diambil guna mengurangi kebingungan dalam keluarga dan masyarakat.

Keputusan Mahkamah Agung merespons gugatan seorang pria transgender bernama Takakito Usui, 45 tahun. Usui ingin mengurus dokumen legal penggantian status jenis kelamin dari perempuan menjadi laki-laki tanpa proses operasi kelenjar reproduksi wanita. Sebelum ke Mahkamah, gugatan Usui ditolak di tingkat pengadilan rendah.

Human Rights Watch mengecam putusan Mahkamah Agung. Mereka mendesak Jepang membatalkan produk hukum yang memaksa warga transgender disterilkan melalui pembedahan.

"Mewajibkan intervensi medis sebagai syarat agar identitas gender diakui secara hukum adalah pelanggaran terhadap kewajiban penegakkan hak asasi manusia Jepang dan bertentangan dengan standar medis internasional," tulis Human Rights Watch dalam rilisnya pada Rabu (20/3).

Keluhan juga disuarakan oleh kaum transgender dalam laporan HRW terbaru berjudul "A Really High Hurdle’: Japan’s Abusive Transgender Legal Recognition Process" (2019, PDF). “Mengapa kita harus memasukkan pisau bedah ke tubuh kita yang sehat hanya demi (perintah) negara?” protes salah seorang pria transgender.

Meski begitu, dua dari empat hakim memberikan opini berbeda (dissenting opinion) dengan mengeluarkan putusan yang merekomendasikan peninjauan hukum atas dasar menghormati hak-hak individu.

Aturan yang memberatkan kelompok transgender bukan hanya soal sterilisasi saja. Di bawah Undang-Undang 2003 tentang Kasus-Kasus Khusus dalam Penanganan Status Gender untuk Orang dengan Gangguan Identitas Gender (PDF), kaum transgender Jepang yang ingin mengubah jenis kelamin di dokumen resmi mereka harus mengajukan banding ke pengadilan keluarga terlebih dahulu, diharuskan melajang, tidak punya anak, di bawah usia 20 tahun, harus menerima diagnosis gangguan identitas gender, dan tentu saja menghilangkan organ reproduksi bawaan (sterilisasi) agar tampak memiliki bagian yang menyerupai organ genital dari jenis kelamin yang diinginkan.

Sejak undang-undang tersebut disahkan pada 2004, lebih dari 7.800 orang Jepang terpaksa menjalani sterilisasi demi mendapat pengakuan hukum atas perubahan jenis kelamin.

Dalam sebuah tulisan di The Diplomat, anggota Human Rights Watch Kanae Doi dan Kyle Knight menilai sederet persyaratan tersebut diskriminatif. Bagi Doi dan Knight, aturan yang mengharuskan transgender menjalani prosedur medis yang panjang, mahal, dan tidak dapat diubah demi memenuhi persyaratan hukum adalah tindakan yang ketinggalan zaman.

Jepang memang bukan satu-satunya negara yang masih menerapkan kebijakan sterilisasi transgender. Cina dan beberapa negara Eropa juga masih menerapkan aturan yang sama.

Dalam beberapa tahun terakhir di Jepang muncul kesadaran masyarakat akan keanekaragaman seksual. Lembaga riset LGBT Marketing Lab pada 2016 pernah melakukan riset di semua prefektur Jepang (kecuali Yamanashi) dengan melibatkan 566 responden. Hasilnya, hampir 90 persen orang tua usia 30 sampai 59 tahun mengatakan akan menerima anak-anak mereka yang LGBT.

Meski begitu, tetap ada elemen-elemen masyarakat lain yang masih memandang LGBT sebagai hal tabu dan tidak lazim, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa politisi sayap kanan Partai Demokratik Liberal yang berkuasa. Dilansir dari The Japan Times, seorang anggota parlemen bernama Katsuei Hirasawa berkomentar pada Januari 2019 bahwa suatu bangsa akan runtuh ​​jika semua orang menjadi LGBT. Tahun lalu, anggota parlemen Mio Sugita mendapat kecaman setelah mengatakan pemerintah tidak boleh menggunakan uang pajak untuk hak-hak LGBT karena pasangan sesama jenis tidak "produktif."

Berawal dari Gerakan Eugenika

Eugenika adalah serangkaian konsep dan praktik tentang upaya memperbaiki mutu spesies dengan perkawinan selektif di antara orang dengan ciri-ciri genetik tertentu yang dianggap bagus. Konsep ini kemudian berkembang dalam dua lajur. Pertama, eugenika positif yang menganjurkan perkawinan di antara individu yang memiliki sifat genetik “baik”. Kedua, eugenika negatif yang melarang perkawinan di antara individu yang memiliki sifat genetik “buruk”.

Sejarah sosial Eugenika memang gelap. Pada 1910, Charles Davenport mendirikan Eugenics Record Office (ERO) di New York, Amerika Serikat. Tujuh belas tahun setelahnya, ERO mulai mengkampanyekan eugenika dengan slogan “meningkatkan kualitas alami, fisik, mental, dan temperamental manusia”.

Dalam perjalanannya, mereka mengampanyekan pengendalian perkawinan dan sterilisasi. Tujuannya mengeliminasi keterbelakangan mental, penyakit kejiwaan, dan cacat fisik. Mereka juga secara sembrono memasukkan tendensi kriminal dan alkoholik sebagai watak yang terwariskan. Sebaliknya, Faktor-faktor sosial—seperti lingkungan yang buruk, gizi buruk, dan pendidikan yang tidak memadai—sama sekali tak diperhitungkan.

Kepopuleran kampanye Eugenika di AS akhirnya sampai di Jepang. Pada 1948, Undang-Undang Perlindungan Eugenik disahkan. Aturan tersebut berlaku sampai 1996. Selama rentang tersebut, diperkirakan sekitar 25.000 orang menjalani operasi sterilisasi. Dari jumlah itu, 16.500 orang disterilisasi tanpa persetujuan. Program ini juga menyasar para penyandang cacat dengan alasannya mencegah lahirnya keturunan yang buruk.

Banyak para penyintas yang menuntut hak-hak mereka akibat perlakuan negara di masa lampau. Sebagian besar sudah sepuh.

Infografik Transgender jepang

Infografik Transgender jepang. tirto.id/Nadya

Lantas, apa kaitan eugenika dengan transgender? Diagnosis medis dalam kerangka pandang eugenika sempat memasukkan transgender sebagai sebuah penyakit mental. Puluhan tahun berlalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2018 tak lagi memasukkan transgender ke dalam kategori penyakit mental.

Economist mencatat sterilisasi transgender dimulai di Swedia. Sebagai bagian dari gerakan eugenika, pada 1970-an, Swedia menjadi negara pertama yang memungkinkan transgender menentukan jenis kelaminnya kembali secara legal. Namun, sebelum sampai ke sana, dibutuhkan sterilisasi. Asumsinya, kaum transgender dianggap memiliki penyakit mental dan tidak layak mengasuh anak. Program eugenik di Swedia memang berakhir pada 1976. Namun aturan sterilisasi terhadap kaum transgender tetap diterapkan sampai akhirnya dihentikan pada 2013.

Dikutip dari Reuters, beberapa negara Eropa yang masih mempertahankan syarat sterilisasi pada transgender yang hendak mengganti status jenis kelaminnya secara legal adalah Finlandia, Swiss, dan Yunani. Kendati demikian, Pengadilan HAM Eropa pada 2017 sudah memutuskan bahwa undang-undang sterilisasi, yang masih berlaku di 22 negara Eropa, dinyatakan melanggar Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia.

Baca juga artikel terkait KESETERAAN GENDER atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Hukum
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf