tirto.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan banyak kejanggalan dalam proses pengajuan tuntutan maupun pemberian vonis hukuman mati di Indonesia.
Kepala Bidang Advokasi KontraS Putri Kanesia mencontohkan kejanggalan itu seperti ada beberapa terpidana mati yang sempat mengalami penyiksaan saat menjalani pemeriksaan.
Selain itu, menurut dia, ada terpidana yang tetap divonis dan dieksekusi mati padahal menderita gangguan mental.
“Rodrigo Gularte (Warga Brazil terpidana mati kasus narkotika), menderita skizofrenia dan bipolar. Artinya, sesuai dengan surat dari dokter kejiwaan Rumah Sakit Cilacap pada saat itu, Rodrigo tidak boleh dieksekusi mati, tapi harus dibawa ke rumah sakit jiwa,” kata Putri kepada Tirto usai Peringatan Hari Anti Hukuman Mati, di Jakarta, pada Selasa (10/10/2017).
Eksekusi terhadap Rodrigo Gularte berlangsung dalam gelombang pelaksanaan hukuman mati kedua di era pemerintahan Joko Widodo. Padahal, menurut pasal 44 KUHP, pemilik gangguan kejiwaan tidak bisa menerima hukuman pidana.
Baca juga: Usaha Menghentikan Hukuman Mati
Menurut Putri, kejanggalan juga ada di kasus Andrew Chan dan Myuran Sukumaran—dua terpidana mati kasus narkotika yang terkenal dengan sebutan duo Bali Nine. KontraS menemukan bukti bahwa hakim di perkara dua terpidana, yang sudah dieksekusi, itu pernah meminta uang kepada mereka agar tidak terjerat vonis mati.
Dia menambahkan salah satu kelemahan penerapan hukuman mati ialah karena tidak lagi menjadi hukuman pidana pokok tetapi pidana alternatif. Menurut Putri, pidana alternatif menyebabkan terpidana harus menunggu 10 tahun untuk mendapat peninjauan. Jika hasil peninjauan menyatakan terpidana berkelakuan baik, ada kemungkinan hukuman turun jadi seumur hidup atau 10 tahun.
“Namun tidak ada jaminan. Ini tetap dua kali penyiksaan, pertama dia divonis hukuman mati, kedua dia tetap dipidana penjara,” ujar Putri.
Pemerintah Didesak Hentikan Hukuman Mati
Saat ini, ada 104 negara di dunia sudah meghapus hukuman mati untuk jenis kejahatan apapun. KontraS menuntut pemerintah Indonesia melakukan hal serupa.
“Apabila hal itu masih tidak bisa dilakukan, setidaknya pemerintah melakukan moratorium atau penghentian sementara eksekusi mati, baik pada tataran vonis maupun tuntutan,” ujar Putri.
Putri menyayangkan sikap pemerintah selama ini. Padahal, berdasar informasi dari salah satu anggota DPR pelaksanaan eksekusi hukuman mati kepada satu orang terpidana, butuh biaya Rp 200 juta. Biaya sebesar itu, menurut dia, lebih baik digunakan untuk meneliti kejanggalan kasus-kasus hukuman mati.
Moratorium hukuman mati sebenarnya tertuang dalam Universal Periodic Review (UPR), yang direkomendasikan Dewan Keamanaan PBB, untuk Indonesia pada Mei 2017. Perwakilan Indonesia sebenarnya mendukung rekomendasi itu.
Namun, menurut mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan sejauh ini belum ada perhatian besar dari pemerintah untuk pelaksanaan moratorium tersebut.
“Perjanjian internasional itu adalah komitmen Indonesia sendiri untuk setia terhadap apa yang diucapkan, bahwa akan menerapkan itu (moratorium hukuman mati),” ujar Maruarar kepada Tirto, Minggu (8/10/2017).
Baca juga: Indonesia Belum Patuhi Rekomendasi Moratorium Hukuman Mati
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Addi M Idhom