tirto.id - “Alhamdulillah, Jawa Timur memperoleh penghargaan dari Kementerian Agama atas upayanya menangani COVID-19 dengan menggabungkan pendekatan sains dan spiritual di Jakarta, Jumat (21/8).” Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mencuit demikian di Twitter, Sabtu (22/8/2020). Menurut keterangan Kementerian Agama, penghargaan itu diberikan sesuai rekomendasi pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).
Pada hari yang sama dengan pemberian penghargaan, Jatim mencatatkan penambahan 30 pasien positif COVID-19 meninggal dunia--tertinggi di Indonesia hari itu. Setelahnya, Jatim 'konsisten' menjadi wilayah dengan angka kematian tertinggi akibat Corona, mengalahkan Jakarta, kota episentrum pertama virus ini di Indonesia. Sebanyak 25 orang meninggal karena Corona pada 22 Agustus, sementara di DKI 17. Pada 23 Agustus, kasus meninggal bertambah 19, sementara DKI 17.
Kemarin lusa, Jatim mencatat 23 pasien positif COVID-19 meninggal dunia, sementara DKI 16.
Selain warga biasa, korban meninggal termasuk para dokter. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat per 21 Agustus ada 86 dokter meninggal selama bertugas merawat pasien COVID-19. Menurut PandemicTalks, 26 di antaranya berasal dari Jatim.
Situasi ini makin mengkhawatirkan lantaran proporsi dokter dan jumlah penduduk di Jatim relatif kecil, yakni 10.802 dokter untuk melayani 39.698.000 penduduk alias 0,27:1.000 (sekitar 3 dokter untuk melayani 10 ribu orang). Bandingkan dengan DKI yang memiliki rasio 11 dokter per 10 ribu penduduk.
Dihitung kasar, kematian 26 dokter di Jatim itu bisa berpengaruh terhadap 95 ribu penduduk.
Mengomentari statistik kematian dokter ini, co-founder PandemicTalks Kamil Muhammad mengatakan kepada reporter Tirto, Selasa (26/8/2020), “harus ada intervensi agar enggak bertambah terus, karena bagaimanapun profesi ini nilainya tinggi.”
Total, sudah ada 2.222 pasien positif COVID-19 di Jatim yang meninggal dunia dari total 30.998 kasus per 25 Agustus pukul 13.30. Artinya, tingkat kematian kira-kira 7,7 persen, terpaut jauh dari tingkat kematian nasional 4,3 persen atau DKI Jakarta sebesar 3,3 persen.
Dilihat leih detail, ibu kota Jatim, Surabaya, menjadi daerah dengan kasus kumulatif dan jumlah kematian Corona tertinggi di Indonesia, mencapai 11.628 kasus dengan pasien meninggal 900.
Wakil Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya Arief Bachtiar berpendapat rasio kematian tinggi disebabkan karena total kasus yang berhasil diketahui belum maksimal.
“Semakin banyak yang kasus yang ditemukan, jika faktor pembaginya lebih tinggi, maka angka kematian bisa jadi lebih rendah. Artinya, kita harus memperbanyak jumlah kasus yang ditemukan dengan memperbanyak pemeriksaan,” kata Arief kepada reporter Tirto, Selasa (26/8/2020).
Berdasarkan data Satgas COVID-19 per 22 Agustus, Jatim sudah melakukan tes terhadap 132.338 spesimen atau 439 spesimen per 1 juta penduduk. Angka ini masih jauh dari standar WHO, yakni 1.000 per 1 juta penduduk.
Selain memperbanyak tes, ia juga berharap pemerintah bisa mengedukasi masyarakat guna menghilangkan stigma terhadap pasien COVID-19 dan keluarganya. Kedua, memperbanyak laboratorium pemeriksaan sampel swab; dan ketiga, jika laboratorium sudah tersedia banyak, maka harga bisa diturunkan.
Ketua Dewan Pengurus Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jatim Nursalam sempat mengatakan tes PCR yang mahal memang satu dari sekian banyak kendala menekan angka penyebaran COVID-19 di Jatim. Alasan lain adalah penerapan protokol kesehatan belum maksimal, kurangnya jumlah kamar di rumah sakit, keterbatasan SDM kesehatan.
Ini bukan kali pertama Jatim memperoleh penghargaan justru ketika babak belur menghadapi pandemi. Pada Juni lalu mereka memperoleh dua penghargaan yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri. Penghargaan bernama Lomba Inovasi New Normal Life diberikan kepada provinsi yang dianggap melakukan inovasi kebijakan terbaik menjelang kelaziman baru. Jatim meraih Juara I sektor Pasar Modern dan Juara II sektor Tempat Wisata.
Arief sempat mengomentari penghargaan tersebut: "Di mata medis, penghargaan itu rasanya aneh" karena tingkat kematian dan penyebaran masih masif.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino