Menuju konten utama
Periksa Data

Konteks yang Hilang dari Klaim Angka Kemiskinan Terendah

Perhatikan bahwa metode survei yang menjadi dasar penentuan angka kemiskinan selama ini juga berubah-ubah.

Konteks yang Hilang dari Klaim Angka Kemiskinan Terendah
Periksa Data Perubahan Metode Perhitungan Kemiskinan Berujung Pada Politisasi Data. tirto.id/Quita

tirto.id - Sandiaga Uno pada 28 Agustus 2018 melempar kembali polemik tentang angka kemiskinan. Baginya, patokan garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah terasa tidak realistis.

“Apa realistis orang di zaman sekarang bisa hidup dengan Rp13.000 per hari?” ucapnya, seperti dikutip Kompas.com.

Patokan garis kemiskinan pemerintah yang terkini (Maret, 2018) (PDF) memang memacak angka pengeluaran Rp401.220 per kapita per bulan atau sekitar Rp13.374 per hari sebagai patokan. Sandiaga mempermasalahkan patokan itu, juga klaim yang menyebut angka kemiskinan di era Jokowi merupakan yang terendah dalam sejarah.

Pertanyaan turunan dari ungkapan Sandiaga adalah: Benarkah seseorang yang hidup di atas angka Rp13.374 per hari merupakan masyarakat yang tidak miskin?

Membaca Angka Garis Kemiskinan

Garis kemiskinan yang menjadi patokan BPS (dan juga pemerintah) didapat dengan pendekatan agregatif. BPS memakai asumsi yang sama untuk wilayah yang berbeda-beda dengan rentang waktu tertentu. Karenanya, data kemiskinan rilisan BPS itu bersifat makro, bahwa ada 9,82 persen (Maret, 2018) dari total penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Yang perlu dicatat adalah patokan garis kemiskinan tidak pernah sama dalam setiap survei. Data yang menjadi ukuran pun mengalami dinamika seturut perubahan harga komoditas makanan dan non-makanan. Komponen harga komoditas ini penting karena pengukuran kemiskinan BPS bertumpu pada perhitungan kemampuan pengeluaran. Survei berupaya mencari tahu sejauh mana ketidakmampuan ekonomi penduduk dari sisi pengeluaran.

Perubahan Metode Pengukuran

Basis data untuk mengukur kemiskinan BPS berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bagian Modul Konsumsi dan Pengeluaran. Susenas adalah survei pencacahan yang berlangsung setiap tahun serta dianggap mewakili seluruh rumah tangga di Indonesia. Rumah tangga yang menjadi target survei Susenas adalah sampel (jadi tidak seluruh warga). Susenas telah dilakukan sejak 1963.

Beberapa hal perlu dicatat dalam pelaksanaan Susenas. Hingga sebelum 1992, seluruh topik atau variabel yang dicakup dalam Susenas dicacah hanya dengan satu kuesioner. Sejak 1992-2010, seluruh topik atau variabel dalam Susenas dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu Kor dan Modul. Variabel yang termasuk kategori Kor (inti) dikumpulkan datanya setiap tahun, sedangkan untuk variabel kategori Modul dikelompokkan lagi ke dalam 3 (tiga) paket, masing-masing paket digilir pengumpulannya setiap 3 (tiga) tahun sekali.

Susenas pada 2011-2014 mencoba melakukan pengumpulan data sebanyak empat kali dalam setahun (model triwulan). Selama periode itu, Modul Konsumsi dan Pengeluaran tidak lagi dikumpulkan 3 (tiga) tahun sekali. Pengumpulan dilakukan pada semua periode pencacahan (triwulanan) sehingga gabungan dari seluruh triwulan tersebut mampu menghasilkan angka tingkat kemiskinan yang representatif sampai tingkat kabupaten/kota.

Sejak 2015, metode pengumpulan data Susenas menjadi hanya dua kali setahun, yakni pada Maret dan September. Pencacahan Maret menggunakan kuesioner Kor dan kuesioner Konsumsi/Pengeluaran, sementara pencacahan September menggunakan kuesioner Konsumsi/Pengeluaran dan kuesioner Modul (Pendidikan dan Sosial Budaya, Kesehatan dan Perumahan, atau Ketahanan Sosial, sesuai siklus tahun penelitiannya).

Dalam metode itu, jumlah sampel yang besar untuk pencacahan bulan Maret dapat membantu menghasilkan data yang representatif sampai dengan tingkat kabupaten/kota. Sementara itu, pencacahan bulan September ukuran sampelnya lebih kecil, yang artinya data hanya representatif untuk estimasi provinsi dan nasional.

Acuan standar kemiskinan yang digunakan pun telah mengalami perubahan. Sebelum 1998, acuannya adalah standar kemiskinan Bank Dunia, $1 (PPP) per orang/hari. Namun, setelah 1998, standar kemiskinan yang diacu dari Bank Dunia menjadi $2 (PPP) per orang/hari.

Catatan perubahan dan pengembangan metode pengukuran Susenas pada tahun/periode tertentu patut diperhatikan. Bisa jadi, perubahan dan pengembangan metode pengukuran Susenas memiliki dampak dalam hasil pencacahan Susenas, dan selanjutnya berdampak pada perhitungan angka kemiskinan.

Infografik Periksa Data Perubahan Metode Perhitungan

Catatan Bank Dunia

Bank Dunia pernah memberi catatan bahwa metodologi pengambilan sampel dalam Susenas telah berubah secara signifikan per 2011 (PDF). Perubahan itu berdampak pada bertambahnya jumlah unit sampel survei (Blok Sensus) hingga hampir dua kali lipat dari sebelumnya. Sementara jumlah rumah tangga yang menjadi sampel dalam tiap Blok Sensus justru berkurang hampir setengahnya, meski jumlah total sampel secara nasional dan setiap daerah tetaplah sama.

Infografik Periksa Data Perubahan Metode Perhitungan

Bank Dunia menggarisbawahi bahwa perubahan metodologi pengambilan sampel membuat jenis rumah tangga yang disurvei menjadi lebih bervariasi. Perubahan tersebut bisa jadi berdampak terhadap hasil perhitungan angka kemiskinan. Karena itu, kita tak bisa membandingkan angka kemiskinan dan ketimpangan antara hasil tahun 2010 dan sebelumnya dengan tahun 2011 dan setelahnya (2016, halaman 41). (PDF)

Sayangnya, BPS kerap tidak melakukan komunikasi yang utuh dan jernih untuk memberi informasi ini. BPS masih sebatas menerbitkan rilisan belaka, tapi tak menerangkan bagaimana data tersebut berhasil dihimpun, juga bagaimana cara membacanya.

Soal Penurunan Angka Kemiskinan

Catatan Bank Dunia (PDF) atas perubahan metodologi dalam Susenas dan penurunan angka kemiskinan yang begitu tajam pada 2017 (penurunan September 2017-2016 adalah yang terendah sejak Maret 2013) juga penting diperhatikan.

Untuk menghasilkan data tingkat kemiskinan September 2017, jumlah komoditas makanan yang masuk ke dalam Modul Konsumsi dan Pengeluaran berkurang dari 222 item menjadi 174. Bahkan, Bank Dunia melanjutkan tulisannya, pada survei Maret 2015, kuesioner telah mengubah jumlah komoditas dari 215 item makanan dan 108 item non-makanan menjadi 112 item makanan dan 116 item non-makanan. Penyesuaian pun terjadi pada survei bulan September 2016: ada 222 item makanan dan 116 item non-makanan (halaman 28).

Bank Dunia melihat perubahan item jumlah komoditas dalam modul survei itu mungkin mempengaruhi perhitungan untuk garis kemiskinan dan pengeluaran per kapita yang digunakan untuk menilai status kemiskinan rumah tangga. Namun demikian, sejauh mana dampaknya belum diketahui.

Satu yang pasti, perubahan yang cukup drastis dalam jumlah item komoditas yang disurvei (dari 215 menjadi 108 untuk komoditas non-makanan dan 222 item menjadi 116 item untuk non-makanan) membuat hasil survei keduanya sangat mungkin menjadi berbeda sehingga perlu kehati-hatian untuk membandingkannya satu sama lain.

Perhatikan Catatan BPS Sendiri

Untuk berhati-hati dalam menempatkan data kemiskinan dalam survei tertentu ke dalam rentang waktu panjang/periode historis dapat dilakukan dengan memperhatikan anotasi tabel publikasi BPS. Dalam tabel publikasi dari BPS soal kemiskinan periode 1970-2017, ada catatan disertakan.

Beberapa yang terlihat adalah: perbedaan standar kemiskinan (dari $1 (PPP) per orang/hari menjadi $2 (PPP) per orang/hari). Standar baru digunakan sejak Desember 1998.

BPS mencatat pula pentingnya merujuk waktu pengambilan data. Referensi waktu untuk seluruh data adalah Februari, kecuali data 1998 (Desember) dan tahun 2006-2010 (Maret). Bahkan, perlu juga dilihat bahwa sejak 1999, Timor-Timur sudah tidak menjadi bagian Indonesia.

Penggunaan metode survei yang dilakukan oleh BPS untuk mendapatkan angka kemiskinan memang berpotensi terus kontroversial. Survei dilakukan dengan pendekatan metode estimasi. Data yang terbangun pun bukanlah data detail tentang nama maupun alamat penduduk miskin, melainkan asumsi angka pengeluaran rata-rata seluruh Indonesia.

Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan metode dalam setiap pengumpulan data. Pernyataan pemerintah bahwa kemiskinan telah menembus satu digit sepanjang sejarah juga tak tepat. Frasa "sepanjang sejarah" agaknya baru bisa dipakai secara presisi jika seluruh survei sepanjang sejarah tidak pernah ada perubahan metodologi.

Perbandingan tentu masih bisa dilakukan, tapi dengan menyertakan catatan agar konteks berbagai perubahan itu (baik metodologi, jumlah sampel hingga jumlah item komoditas) juga diketahui oleh publik.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Frendy Kurniawan

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Frendy Kurniawan
Editor: Maulida Sri Handayani