Menuju konten utama
Hasil Debat Capres Jilid II

Konsep Bioenergi Jokowi dan Prabowo Dinilai Sama-Sama Tak Realistis

Mengapa konsep bioenergi yang ditawarkan Prabowo dan Jokowi dinilai tidak realistis dan sulit terealisasi?

Konsep Bioenergi Jokowi dan Prabowo Dinilai Sama-Sama Tak Realistis
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) mengikuti debat capres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Biofuel dan biodiesel muncul sebagai jawaban mengatasi penipisan cadangan minyak dalam negeri. Dalam debat capres jilid II, calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto pun menjadikan bioenergi sebagai solusi mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil.

“Tidak hanya kelapa sawit, aren, kasava, bahkan etanol akan kami gunakan. Kita tidak bisa mengimpor bahan energi dari luar negeri. Itu strategi kami,” kata Prabowo di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu malam, 17 Februari 2019.

Tak mau kalah dengan Prabowo, calon presiden petahana, Joko Widodo pun mengungkapkan strateginya mengurangi penggunaan energi fosil. Saat ini, kata Jokowi, pemerintah telah menerapkan program mandatori B-20, yaitu mencampur solar dengan 20 persen minyak sawit.

Program ini, kata Jokowi, akan ditingkatkan menjadi B-100. Kebijakan ini diproyeksikan dapat menyerap 30 persen dari total produksi kelapa sawit.

“Ini 98 persen artinya B-20 sudah rampung. Kami ini sekarang menuju ke namanya B-100. Plan-nya sangat rinci dan jelas. Kami sedang kerjakan sehingga tidak ketergantungan pada minyak dari impor,” kata Jokowi menanggapi Prabowo.

Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy 2018, konsumsi minyak dalam negeri memang meningkat tajam, dari 1,56 juta barel per hari (bph) pada 2015 menjadi 1,65 juta bph pada 2017. Sementara produksi minyak dalam negeri berdasarkan data SKK Migas, tercatat hanya 786 ribu bph pada 2015 menjadi 801 ribu bph di tahun 2017.

Direkur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Paul Butarbutar menganggap konsep bioenergi yang diusung Jokowi memang dapat diterapkan. Misalnya, kata dia, kilang Pertamina Plaju, Palembang sudah menguji penggunaan B-100 untuk menggantikan diesel biasa.

Hanya saja, kata Paul, program itu rawan terganjal oleh biaya investasi yang besar lantaran mulai dari pengolahan hingga kilangnya memerlukan teknologi khusus. Sehingga akan sulit direalisasikan bila harganya tidak cukup ekonomis. Belum lagi, kata Pauk, bila harga sawit tiba-tiba melonjak.

“Permasalahannya bagaimana keekonomian dari B-100 itu? Lalu masalah harga, kita enggak tahu kalau suatu saat harga naik ke 1.000 dolar per ton. Apa kita masih bisa pakai B-100?” kata Paul saat dihubungi reporter Tirto, Senin (18/2/2019).

Namun, kata Paul, untuk saat ini program ini masih bisa jalan, terlepas dari tantangan yang dihadapi. Sebab, kata dia, Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDKS) telah menyiapkan subsidi pembelian biodiesel yang dipungut dari ekspor CPO. Tentu dengan syarat bila pungutan ini dijalankan dengan konsisten.

Hal yang sama juga akan terjadi dengan konsep bioenergi yang ditawarkan Prabowo. Direktur Eksekutif Insitute for Essential Services and Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai konsep bioetanol Prabowo-Sandiaga sulit direalisasikan.

Sebab, kata Fabby, penggunaan bioetanol di Indonesia belum teruji pada skala komersial. Meskipun dalam pemaparan Prabowo menyebut Brazil sebagai contoh, tetapi Fabby pesimistis lantaran program itu sudah dimulai negara Amerika Latin sejak 1970.

“Ini menurut saya tidak terlalu realistis. Bioetanol dari aren dan kasava itu mereka belum ada pengalaman. Sawit sudah 30 tahun, yang lain tidak,” kata Fabby saat dihubungi reporter Tirto.

Persoalan lain, kata Fabby, sulitnya mencapai kualitas (grade) bioetanol senilai 99 persen kemurnian bila digunakan sebagai bahan bakar. Meskipun teknologinya telah tersedia, kata Fabby, tapi prosesnya belum dapat direplikasi secara komersial dan masif.

Kalau pun dapat mencapai grade-nya, kata Fabby, biaya produksi bioetanol sebagai bahan bakar diperkirakan akan cukup tinggi. Sehingga sulit untuk membumikannya bagi masyarakat untuk beralih dari BBM.

“Dulu sempat diterapkan waktu SBY, tapi enggak berlanjut. Kenapa? Sampai hari ini etanolnya masih belum dapat memenuhi grade dan keekonomian yang diperlukan. Harga 70-80 dolar per barel minyak bumi itu masih sulit disaingi,” kata Fabby.

Respons Tim Prabowo dan Jokowi

Menanggapi hal itu, Juru Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ramson Siagian mengatakan persoalan itu dapat diselesaikan dengan menemukan teknologi terbaru agar dapat mengelola biofuel lebih efisien.

Lagi pula, kata Ramson, Prabowo-Sandiaga tetap akan mendayagunakan energi fosil. Solusi biofuel paling tidak bermanfaat untuk mengurangi ketergantungan impor minyak saja.

Namun, ketika ditanya mengenai detail dari teknologi yang dimaksud, Ramson hanya menjawab pendek “Kami sudah ada strateginya. Misal dengan penemuan teknologi. Ini original Pak Prabowo. Contohnya di Jerman biofuel bisa untuk pesawat terbang.”

Sementara Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Johnny G. Plate optimistis bila program B-20 yang akan dinaikkan menjadi B-100 dapat terealisasi.

Menurut Johnny, selain tetap menjaga diversifikasi energi dengan fosil, pasangan Jokowi-Ma'ruf juga memastikan pembangunannya akan dilakukan sektor swasta yang tertarik untuk investasi di bidang bioenergi ini.

Politikus Nasdem ini mengatakan, cara itu dipastikan dapat membuat B-100 cukup ekonomis bagi masyarakat. Ia mengklaim pengembangannya dilakukan dari perspektif investasi jangka panjang untuk energi yang bersih.

“Akan ada insentif untuk mendorong sektor swasta. Pasti ada aspek keekonomian bisa tercapai,” kata Johnny saat dihubungi reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz