tirto.id - Di menit ke-27 Joshua Kimmich menerima umpan terobosan dari James Rodriguez ke sisi kiri pertahanan Real Madrid. Mendapati ruang kosong yang luas, ia lantas menggiring bola dengan leluasa sampai kotak penalti dan dengan mudah menceploskan bola ke gawang Real Madrid. Marcelo, yang bertugas menjaga daerah ‘kosong’ itu, sama sekali tak kelihatan.
Selidik punya selidik, Marcelo ternyata masih berada di luar lapangan wilayah pertahanan Bayern Munchen saat Rodriguez mengirim umpan pada Kimmich. Ia terlambat bermain karena sebelumnya tengah mencari bola untuk tendangan gawang Bayern. Tak diketahui Marcelo, bola itu sudah diberikan anak gawang kepada Ulreich, sang kiper, yang tak membuang waktu untuk melanjutkan permainan.
Kesalahan yang dilakukan Marcelo untungnya dibayar lunas. Satu menit menjelang waktu normal babak pertama, ia berhasil menyamakan kedudukan lewat tendangan voli dari jarak sekitar 18 meter setelah menerima umpan sundulan dari Dani Carvajal.
Dalam pertandingan leg pertama babak semifinal Liga Champions yang mempertemukan Bayern Munchen dan Real Madrid untuk ke-19 kalinya di ajang ini, permainan anak asuhan Zinedine Zidane tak tampil baik. Hampir sepanjang pertandingan Bayern Munchen mendikte jalannya laga dan paling banyak memperoleh peluang emas.
Kendati demikian justru Madrid yang akhirnya tampil sebagai pemenang. Gol Marco Asensio di menit ke-57 tak bisa dikejar Bayern. Kemenangan Madrid malam tadi merupakan kemenangan beruntun mereka yang keenam atas Bayern di Liga Champions.
Seusai pertandingan Jupp Heynckes mengatakan bahwa dua gol yang dicetak Madrid tak ubahnya seperti hadiah.
“Dua gol itu adalah hadiah. Anda jarang melihat pertandingan seperti ini di Liga Champions, ketika Anda memiliki banyak sekali peluang, namun tidak mengkonversinya menjadi gol. Laga semacam itu jarang sekali terjadi,” katanya seperti dilansir Guardian.
Hal itu diakui Zinedine Zidane.
“Tidak mudah untuk menang di sini [Allianz Arena], kami menyadarinya,” kata Zidane. “Dapatkah kami melakukan yang lebih baik? Ya. Namun, kami puas dengan hasil ini. Kami akan berjuang keras di pertandingan leg kedua.”
Sebuah Anomali
Real Madrid menjadi tim pertama di era Liga Champions yang berhasil menjuarai piala paling bergengsi antar klub Eropa ini dua kali secara beruntun. Mereka melakukan itu di musim 2015/16 dan 2016/17. Kemenangan Madrid semalam membuat harapan meraih gelar ketiganya makin terbuka.
Apa yang dicapai Los Blancos di bawah asuhan Zinedine Zidane sesungguhnya merupakan anomali dalam sepakbola modern. Dengan jadwal pertandingan yang padat dan kemunculan klub-klub yang mendadak kuat secara finansial membuat dominasi seperti di zaman dulu menjadi sulit.
Barcelona era Pep Guardiola pun, yang dianggap banyak orang sebagai salah satu tim terbaik yang pernah ada, tak pernah mampu mencapai apa yang diraih Zidane di Madrid. Terakhir kali sebuah tim mampu menjuarai trofi Si Kuping Besar dua kali secara beruntun terjadi 1988/89 dan 1989/90 yang diraih AC Milan saat ditukangi Arrigo Sacchi.
Namun, waktu itu Liga Champions masih bernama Piala Eropa dan kekuatan uang dalam sepakbola belumlah semasif sekarang. Di era Piala Eropa meraih gelar secara beruntun merupakan pencapaian yang lumrah.
Madrid, misalnya, pernah memenangkan turnamen itu lima kali berturut-turut dari 1956 sampai 1960. Ajax Amsterdam dari 1971 sampai 1973 dan Bayern Munchen dari 1974 sampai 1976. Tim-tim yang meraih gelar dua kali secara beruntun pun mudah ditemui. Benfica, Inter Milan, Liverpool, dan Nottingham Forest pernah mencapai hal itu.
Namun setelah memasuki dekade 1990an, saat industri sepakbola pelan-pelan kian eksesif, meraih dua gelar beruntun di tingkat tertinggi kompetisi sebenua seperti Liga Champions menjadi lebih sulit. Apalagi meraih juara tiga kali berturut-turut. Jika melihat kompetisi level serupa di benua Asia, Afrika maupun Amerika Latin, hal serupa pun terjadi: sangat sulit menjadi juara sampai tiga kali berturut-turut.
Pola Baru
Dalam artikel yang berjudul “With League Achievements and Titles Devalued, What is the Future of European Football?” di Sport Illustrated, Jonathan Wilson menulis fenomema aneh yang tengah terjadi di lima liga teratas Eropa.
“Di Jerman, Bayern Munchen telah memenangi trofi liga enam tahun secara beruntun. Di Italia, Juventus bukan saja berpeluang besar meraih Scudetto tujuh kali secara berturut-turut melainkan juga meraih gelar dobel empat kali secara beruntun. Di Perancis, PSG berhasil trofi liga kelima dalam enam musim. Di Spanyol, Barcelona masih tak terkalahkan ... Di Inggris, Manchester City baru saja meraih gelar liga dengan rekor lima pertandingan tersisa.”
Pencapaian-pencapaian tim-tim elit di liganya masing-masing, menurut Wilson, mulai membuat gelar liga tak lagi terasa seperti kompetisi sesungguhnya. Kompetisi tingkat Eropa tampak masih bisa memberikan peluang itu. Namun, tambah Wilson, kompetisi macam Liga Champions pun seringkali tak memberikan itu karena bagi tim-tim elit babak perempat final tampak sudah terberi dengan sendirinya (given).
Hal ini semakin diperkuat dengan apa yang dicapai Madrid di bawah Zidane. Dua kali juara secara beruntun dan peluangnya yang semakin lebar untuk meraih gelar ketiga tampak membuat Liga Champions semakin mengikuti pola yang sudah terjadi di liga-liga teratas Eropa: kompetisi tampak sudah mulai hilang.
Hal lain yang tampak dari pola di atas adalah dominasi tersebut tampak kurang meyakinkan. Madrid di bawah asuhan Zidane, misalnya, tak dianggap sebagai tim yang menginspirasi dan terkesan biasa. Manchester City, meski melakukan hal yang luar biasa di Liga Premier musim ini, namun tak bisa berbuat banyak di Liga Champions. Begitu pun dengan catatan tak terkalahkan Barcelona tak dibarengi penampilan apik di Eropa. Juventus, Bayern Munchen, dan PSG pun tak jauh berbeda.
Melihat fenomena tersebut, akankah Madrid semakin menegaskan pola yang disinggung Wilson?
“Sepakbola butuh kompetisi,” tulis Wilson.
Editor: Zen RS