tirto.id - Pada pertandingan leg pertama babak perempat final Liga Champions 2018 melawan Real Madrid Selasa (3/4/2018) lalu, Juventus datang dalam kondisi terbaik.
Di babak sebelumnya, mereka menyingkirkan Tottenham Hotspur di depan pendukungnya sendiri dengan skor 1-2. Sedangkan Real Madrid justru pernah takluk 3-1 oleh tim anak asuhan Mauricio Pochettino di babak grup. Tak boleh juga dilupakan Juventus tampil sebagai tuan rumah.
Sepakbola memang bukan matematika. Jika Real Madrid kalah oleh Tottenham Hotspur dan Tottenham Hotspur kalah oleh Juventus, tidak berarti Juventus bakal menang melawan Real Madrid. Semua fans Juventus juga tahu itu. Meski demikian, kepercayaan diri memang sedang ada di ubun-ubun para fans dan pemain Juventus.
Apalagi tim asuhan Massimiliano Allegri ini baru saja menyalip Napoli sebagai pemuncak klasemen Liga Italia Seri A. Mereka belum terkalahkan dalam 25 pertandingan terakhir, dan memenangkan 21 laga dalam 25 laga itu.
Namun, di atas lapangan semua kepercayaan diri dan catatan impresif itu sirna. Bahkan ketika pertandingan belum memasuki menit kelima.
Cristiano Ronaldo adalah sebabnya. Gol cepatnya di menit ke-3 dan gol spektakulernya di menit ke-64 seakan mengulangi mimpi buruk mereka di final setahun lalu di Cardiff, Wales. Ketika itu, Ronaldo juga mencetak dua gol, bedanya saat itu skor berakhir dengan 1-4, sedangkan kali ini skor berakhir 0-3.
Bagaimana perasaan sang kapten, Gianluigi Buffon?
Salah Satu Kiper Terbaik di Dunia
Gianlugi Buffon melakukan debut profesionalnya bersama AC Parma pada 19 November 1995 saat melawan AC Milan. Dalam pertandingan itu, Buffon, yang baru berusia 17 tahun melakukan beberapa kali penyelamatan gemilang dari ancaman penyerang tangguh macam Roberto Baggio dan George Weah. Fabio Capello, pelatih Milan saat itu, tak kuasa untuk tak berkomentar tentang penampilan kiper muda Parma itu.
“Kami layak menang namun kami gagal meraih tiga poin lantaran yang menjaga gawang Parma adalah Buffon,” tutur Capello usai timnya ditahan imbang 0-0 di Ennio Tardini.
Penampilan Buffon memang langsung menjadi buah bibir di Italia. Dino Zoff, kiper legenda Italia, sebagaimana ditulis Jonathan Wilson dalam The Outsider: A History of the Goalkeeper (2012) meyakini bahwa “Buffon muda adalah kiper terbaik yang pernah ada di dunia, bahkan melebihi [Lev] Yashin.”
Ketika membela Parma, penjaga gawang yang mendapat julukan Superman ini, meraih trofi Coppa Italia 1998/99, Piala Super Italia 1999, dan Piala UEFA 1998/99 sebelum dibeli Juventus di tahun 2001 dengan nilai transfer lebih dari 50 juta euro. Angka itu menjadikannya kiper termahal di dunia. Rekor transfer yang sampai saat ini belum terpecahkan.
Dua musim pertamanya bersama Juventus langsung berbuah Scudetto, gelar yang bakal terus dikoleksi Buffon sepanjang kariernya di klub milik keluarga Agnelli itu. Termasuk gelar juara Seri-B 2006/07 ketika Juventus terkena hukuman akibat skandar pengaturan skor. Di timnas Italia, pencapaian tertinggi Buffon adalah menjuarai Piala Dunia 2006. Hanya trofi Liga Champions yang selama ini selalu luput dari raihan Buffon.
Usia Senja
Dalam laga final Liga Champions musim 2002/03 yang digelar Old Trafford, Manchester, Inggris, Juventus kalah dari AC Milan lewat drama adu penalti 0-0 (2-3). Usai pertandingan, Gianluigi Buffon mencoba melepas lelah sambil mengisap rokok di lorong dekat ruang ganti dan tanpa sadar bertanya agak keras kepada dirinya sendiri.
“’Kapan lagi aku bisa mendapatkan kesempatan seperti ini?’ Direktur Juventus Roberto Bettega, yang juga penyerang legendaris Juve, kebetulan lewat. ‘Di Juventus,’ katanya, “kesempatan itu lumayan sering terjadi.”
Apa yang dikatakan Bettega sedikit-banyak terbukti. Setidaknya, sejak musim 2002/03, Buffon dua kali mencapai final Liga Champions pada 2014/15 dan 2016/17. Namun, kesempatan itu hanya tinggal kesempatan. Tiga kali melangkah ke final, tiga kali pula Buffon harus menerima kekalahan. Di dua laga final terakhir, Juventus ditekuk Barcelona 1-3 dan dibantai Real Madrid 4-1.
Musim ini pun kesempatan Buffon untuk merengkuh trofi yang selalu diimpikannya semakin mengecil setelah timnya kalah 0-3 dari Real Madrid pada leg pertama babak perempat final Liga Champions di Turin pertengahan minggu lalu. Untuk bisa lolos, di pertemuan kedua nanti malam Juventus harus mampu melesakkan empat gol di Santiago Bernabeu.
Massimiliano Allegri, sang allenatore, seusai kekalahan itu seperti sudah pasrah melihat peluang tim asuhannya sembari memuji kegemilangan Cristiano Ronaldo yang mencetak dua gol, terutama gol balik bandungnya di menit ke-64.
“Saya tidak tahu apakah gol Cristiano merupakan yang terbaik dalam sejarah sepakbola. Namun itu sudah jelas gol yang sangat luar biasa. Anda hanya bisa mengucapkan selamat kepadaya atas apa yang barusan dilakukannya. Kendati demikian, saya kecewa dengan gol ketiga, karena sebelum itu kami masih memiliki peluang di leg kedua. Sekarang, itu tampak mustahil,” ujarnya seperti dilansir Guardian.
Buffon pun mengungkapkan hal senada. Setelah memuji Cristiano Ronaldo (dan Lionel Messi) dengan mengatakan bahwa keduanya harus disandingkan dengan para legenda macam Maradona dan Pele, ia berbicara tentang peluang timnya.
“Kami sungguh kecewa karena kemungkinannya kami tidak akan lolos ke babak selanjutnya musim ini,” tutur Buffon. “Ini penyesalan yang besar.”
Wajar jika Buffon berpikir merasa seperti itu. Kini usianya sudah menginjak 40 dan tiap tahun, kesempatannya merengkuh trofi Liga Champions semakin menipis. Roberto Bettega memang pernah mengatakan, di Juventus, kesempatan untuk masuk final Liga Champions lumayan sering terjadi. Namun, sepertinya tidak di musim ini.
Dan bila di musim-musim mendatang, Juventus kembali menembus final, mungkinkah Buffon masih ada untuk menjaga gawang Si Nyonya Besar? Dan akhirnya mengangkat dan mengecup Piala yang sudah dinantikannya sejak lama itu?
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS