Menuju konten utama

Kondom Langka: Bentuk Tebal Telinga Pemerintah pada Pekerja Seks

Stigma, diskriminasi, hingga tersendatnya distribusi berperan dalam kelangkaan kondom bagi pekerja seks. Pemerintah harusnya tak tebang pilih.

Kondom Langka: Bentuk Tebal Telinga Pemerintah pada Pekerja Seks
Ilustrasi kondom perempuan. FOTO/iStock

tirto.id - Ini adalah suara dari kelompok marginal yang terpaksa mempertaruhkan kesehatan seksual dan reproduksinya akibat stigma dan diskriminasi. Sistem sosial membuat mereka tak punya pilihan dan menjadi kambing hitam atas timbulnya beban penyakit menular.

Cerita pertama dari R. Dia tak ingat kapan tepatnya dia kembali menyambangi fasilitas kesehatan tingkat pertama di wilayahnya untuk melakukan tes rutin Infeksi Menular Seksual (IMS) dan VCT (tes dan konseling HIV). Yang diingatnya siang itu adalah bulan-bulan pertama pascapembubaran lokalisasi di Kupang.

Lokalisasi tempat R bekerja terkena program “Indonesia Bebas Lokalisasi 2019”. Dulu sebelum pembubaran, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) aktif menggelar tes-tes semacam itu setiap tiga bulan sekali.

Setelah melakukan tes, petugas LSM itu akan memberikan hasilnya beserta paket kontrasepsi berupa kondom dan pelicin. Namun setelah pembubaran, domisili R dan para pekerja seks (PS) setempat jadi terpencar-pencar dan karena itu program tes dan kontrasepsi gratis dari LSM itu pun tak berjalan lagi.

Mereka terpaksa mengakses layanan kesehatan di domisilinya masing-masing. Begitu pun dengan R. Meski dia tahu program kontrasepsi gratis di puskesmas hanya diberikan untuk Pasangan Usia Subur (PUS), bukan pekerja seks seperti dirinya.

Itu adalah kali terakhir R mengakses kondom gratis dari fasilitas kesehatan. Dia trauma dan letih menghadapi tatapan sinis dan kalimat penghakiman dari petugas layanan kesehatan.

Mereka bilang sama saya, ‘Makanya jangan jadi lonte! Berhenti, kondom lagi sulit,’ sambil menatap jijik dan pergi melengos,” kata R. Dia pun cuma bisa tersenyum kecut dan diam mengiyakan.

Bagi pekerja seks, kondom sudah naik level menjadi kebutuhan primer. Alat kontrasepsi itu adalah nyawa, pelindung mereka agar tetap sehat dan terhindar dari IMS. Lain itu, kondom adalah salah satu kunci untuk menjaga statistik HIV/AIDS nasional tak melejit naik.

Tapi, entah kenapa pekerja seks sebagai populasi kunci dalam pencegahan HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lain justru tak pernah menjadi prioritas dalam pendistribusian kondom. Malah, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)--lembaga negara yang fokus memberi bantuan kondom kepada populasi kunci—dibubarkan melalui Peraturan Presiden Nomor 124/2016.

Semenjak KPA bubar dan penanganan AIDS dilimpahkan ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dari situ putus koordinasi, distribusi kondom tersendat, saat COVID-19 habis, putus sama sekali,” kata A, seorang pendamping komunitas sekaligus satu pekerja seks aktif di kawasan Jakarta, kepada Tirto.

Selama pandemi COVID-19, secara global produksi dan distribusi alat kontrasepsi memang terhambat akibat pembatasan. Di awal pandemi, Badan Kesehatan Seksual dan Reproduksi PBB (UNFPA), misalnya, hanya bisa mendapat 50-60 persen pasokan kondom.

Lalu, seperti pemberitaan The Guardian, perusahaan kontrasepsi raksasa di Malaysia Karex sampai harus mengurangi produksi hingga 200 juta kondom per hari. A bilang, selama pagebluk melanda, jangankan kondom gratis, kondom berbayar di grosir-grosir terdekat pun ludes.

Kelangkaan kondom itu menjadi masalah serius penanganan IMS, terutama HIV/AIDS, di kalangan pekerja seks sebagai komunitas kunci. Hitung saja secara kasar, jika dalam sehari satu pekerja seks membutuhkan 10-15 kondom, sementara di satu lokasi prostitusi terdapat 100-350 pekerja seks, maka kebutuhan kondom di satu wilayah saja sudah mencapai 1.000-5.000 buah.

Kebutuhan pekerja seks akan kondom itu tinggi, apotek dan grosir itu kewalahan, mereka tidak menyediakan stok segitu banyak. Kalau pun ada, harganya jadi tinggi,” kata A.

Antropolog Medis sekaligus Kepala Pendidikan dan Pembelajaran Institut Nossal untuk Kesehatan Global di Universitas Melbourne Linda Rae Bennett mengamini kisah A itu. Kelangkaan akses kondom gratis sudah lama menjadi masalah krusial bagi komunitas pekerja seks.

Keadaan semakin parah sejak pandemi melanda. Pekerja seks jadi terpaksa melakukan aktivitas seksual beresiko tanpa memakai pelindungkarena kelangkaan dan tingginya harga kondom. Seringnya, pemasukan mereka tidak mencukupi untuk menutup harga kondom yang mahal.

Pekerja seks yang bayarannya murah menerima Rp15-50 ribu. Hanya untuk menutupi biaya kondom saja, mereka harus menambah klien dari 10 menjadi 15 orang dalam sehari,” papar Linda dalam diskusi Pertemuan Ilmiah Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi bersama Rutgers, organisasi yang berfokus pada isu hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) serta pencegahan kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS).

Kelompok Kunci Mengalami Diskriminasi Kontrasepsi

Semenjak pembubaran KPA pada 2017, program penanganan HIV di Indonesia jadi tak terarah. Jangankan soal pengadaan kontrasepsi gratis, perlindungan bagi pekerja seks untuk menjaga diri dari IMS dan kehamilan tidak diinginkan (KTD) malah tak masuk hitungan.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebenarnya punya program konseling dan penyediaan kontrasepsi gratis di tiap fasilitas kesehatan tingkat pertama. Namun, program tersebut ditujukan hanya untuk PUS, yakni orang-orang yang secara dokumen negara memiliki pasangan.

Pekerja seks yang secara dokumen masih melajang tentu tak dapat mengakses layanan ini. Padahal, selain kondom untuk mencegah IMS, pekerja seks butuh kontrasepsi sekunder seperti pil, IUD, atau KB suntik guna mencegah kehamilan.

Kita mengenal individu yang aktif secara seksual tapi belum menikah. Bukan jadi alasan negara tidak hadir di sana,” tutur Alegra Wolter, seorang dokter transpuan yang aktif mengadvokasi isu kesehatan seksual dan reproduksi.

Alegra turut memberi opini terhadap ketimpangan akses kontrasepsi bagi kelompok kunci. Menurut Alegra, setiap warga negara harusnya memiliki akses kehidupan yang setara, termasuk hak atas perawatan kesehatan. Apalagi, para pekerja seks adalah salah satu komunitas kunci dalam penanganan HIV/AIDS.

Dalam diskusi terbatas bersama Rutgers, Alegra menyoroti kelangkaan akses kontrasepsi di komunitas pekerja seks. Kondisi tersebut membikin mereka menanggung dampak kesehatan dan sosial. Selain berisiko terkena dan menularkan IMS, pekerja seks yang hamil bisa saja mengakses layanan aborsi ilegal.

Pada akhirnya, sistem yang diskriminatif ini justru akan menyumbang kenaikan angka HIV/AIDS, kematian ibu dan anak, membikin komplikasi medis berkepanjangan akibat aborsi yang tidak aman, termasuk mempengaruhi angka kemiskinan.

Harusnya pemerintah netral terhadap semua nilai, tidak tebang pilih. Intervensinya mudah, sediakan kondom dan kontrasepsi, dampaknya (positifnya jauh lebih) besar,” pungkas Alegra.

Rahasiakan Identitas sampai Terima Kondom Kedaluwarsa

Aturan diskriminatif yang hanya mengakomodasi PUS membikin sebagian pekerja seks putar otak mengakali sistem. Dokter sekaligus penggiat kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS Maya Trisiswati mengatakan beberapa pekerja seks akhirnya mengaku punya pasangan menikah demi mendapat kontrasepsi gratis.

Di puskesmas yang tidak ada kerja sama (dalam penangangan HIV/AIDS di kalangan pekerja seks), mereka akan menutupi jati diri sebagai pekerja seks,” kata Maya.

Namun, trik itu hanya bisa dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak mensyaratkan lampiran dokumen resmi. Jika tidak mendapat fasilitas kontrasepsi gratis, mayoritas pekerja seks memilih tidak memakai pengaman ketimbang harus mengeluarkan uang ekstra.

Infografik Kontrasepsi Untuk Pekerja Seks

Infografik Kontrasepsi Untuk Pekerja Seks. tirto.id/Sabit

Mendapat akses kontrasepsi gratis di fasilitas kesehatan dengan kerja sama penangangan HIV/AIDS di kalangan pekerja seks juga bukan tanpa masalah. Maya mengungkap hak berkontrasepsi pekerja seks kerap dibatasi ketika memilih alat kontrasepsi.

Petugas yang sudah paham latar belakang pasien sebagai pekerja seks masih mengarahkan penggunaan kontrasepsi tunggal, mayoritas adalah IUD. Padahal, penggunaan kontrasepsi tunggal tidak direkomendasikan pada kelompok yang sering berganti pasangan seksual. Untuk mereka, kondom tetap harus dipakai sebagai perlindungan terhadap IMS.

Alat kontrasepsi harusnya menjadi pilihan klien. Keputusan soal jenisnya disesuaikan dengan kondisi kesehatan. Tapi, keluhan di lapangan mereka mau akses kondom malah diarahkan ke IUD saja,” papar Maya.

Di cerita yang lain, kelangkaan kondom membikin pekerja seks terpaksa menerima kondom kadaluwarsa. A, misalnya, punya pengalaman pilu ketika melakukan pemantauan di bekas lokalisasi Karang Dempel.

Sekitar 2020, periode pasca pembubaran lokalisasi dan pandemi COVID-19, kondom jadi barang langka bagi pekerja seks di wilayah tersebut. A lalu curiga ketika menemukan persediaan kondom mencapai satu dus ditambah 30-40 buah pelumas pada setiap pekerja seks di sana.

Dia kemudian memeriksa tanggal kelaikan produk, dan benar saja kondom dan pelumas yang dibagikan sudah kedaluwarsa. Tak cuma di Karang Dempel, A juga menemukan penggunaan kondom dan pelumas kedaluwarsa di beberapa wilayah pemantauan lain.

Itu ribuan kondom dan pelumas akhirnya kami buang karena khawatir malah berisiko memunculkan penyakit.”

Andai pemerintah mau lebih gesit dalam pendistribusian kondom dan kontrasepsi bagi pekerja seks, atau setidaknya lebih luwes dalam membuka akses kontrasepsi gratis di puskesmas, tentu kondisi kelangkaan bisa ditekan.

Bagaimana pun, mereka tetaplah warga negara juga. Layaknya pekerja di sektor lain yang mendapat jaminan kesehatan, sudah semestinya pekerja seks mendapat akses kesehatan yang setara.

Baca juga artikel terkait PEKERJA SEKS KOMERSIAL atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi