Menuju konten utama

Komisioner KPU: Pemilu Serentak Cukup Jadi yang Pertama & Terakhir

Komisioner KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 secara fisik telah melampaui batas rata-rata kemampuan manusia di Indonesia pada umumnya.

Komisioner KPU: Pemilu Serentak Cukup Jadi yang Pertama & Terakhir
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Pramono Ubaid Tanthowi menyampaikan paparan terkait pelaksanaan Pemilu 2019 saat acara Sarasehan Refleksi Pemilu di UGM Yogyakarta, Jumat (26/4/2018). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan bawa pelaksanaan Pemilu 2019 perlu dievaluasi.

Menurutnya pemilu serentak dengan sistem lima surat suara cukup menjadi yang pertama dan terakhir.

"Bahwa pemilu serentak yang kita laksanakan dengan model seperti ini, itu bagi saya cukup yang pertama dan terakhir," kata Pramono saat membuka paparannya di acara Sarasehan Refleksi Pemilu di UGM Yogyakarta, Jumat (26/4/2018).

Ia mengatakan bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 secara fisik telah melampaui batas rata-rata kemampuan manusia di Indonesia pada umumnya. Sebab para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) khusunya harus bekerja lebih dari 12 jam.

Pekerjaan mengharuskan KPPS begagang mempersiapkan TPS, melaksanakan pemungutan suara, hingga perhitungan suara.

"Kalau begadangnya karena nonton bola kan asik. Atau wayangan asik. Tapi ini adalah mengerjakan politik yang tensinya tinggi. Itu jauh berbeda suasananya," kata Pramono.

Tak ayal karena sistem kerja seperti itu banyak petugas KPPS yang bertumbangan. Pramono menyebutkan berdasarkan data Kamis (25/4/2019) ratusan yang meninggal dan ribuan yang sakit.

"Secara fisik korban kita sampai kemarin itu 225 orang [meninggal]. Menderita sakit 1.470 [orang]. Dan ini saya pastikan jumlah masih akan bertambah," kata dia.

Pramono menjelaskan, pelaksanaan Pemilu 2019 yang memakan banyak korban jiwa ini menurutnya tidak lepas dari sistem yang telah diatur dalan undang-undang (UU).

Sistem serentak lima surat suara langsung ini diamanatkan UU nomor 7/2017 sekaligus putusan MK nomor 14/2013.

"Dari desain serentak itu ada beberapa klausul yang implikasi teknisnya betul-betul di luar perkiraan para pembuat UU," kata dia.

Ia mencontohkan pada UU nomor 7/2017 pasal 383 ayat 2. Perhitungan suara hanya dilakukan dan selesai di TPS atau TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara.

"Jadi teman-teman KPPS itu mau tidak mau mereka harus menyelesaikan proses pemungutan suara dan diteruskan proses perhitungan suara dan itu harus selesai pada hari itu juga. Meskipun ada putusan MA nomor 20/2019 yang memperpanjang waktu sampai 12 jam. Namun tanpa jeda," kata dia.

Sehingga meskipun dalam UU Ketenagakerjaan batasan bekerja hanya delapan jam, namun hal itu tidak berlaku bagi para pekerja yang bertugas sebagai KPPS.

Selain itu pada pasal 351 ayat 1, disebutkan jumlah pemilih per TPS maksimal 500 orang. Awalnya UU menyebutkan 500 orang, tetapi dari beberapa simulasi KPU akhirnya diturunkan maksimal menjadi 300 orang.

Hal ini untuk mengurangi penumpukan pemilih di TPS dan agar perhitungan di TPS tidak melewati tengah malam.

"Jadi kami sudah melakukan upaya mengurangi batasan [pemilih di TPS] yang diamanatkan UU. Coba bayangkan kalau pemilih di TPS maksimal 500. Saya pastikan akan semakin banyak yang bertumbangan karena waktunya lebih panjang," kata Pramono.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Politik
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari