Menuju konten utama

Komisi X DPR: Wacana 'Marketplace' Guru Perlu Dikaji Ulang

Menurut Komisi X DPR RI, mekanisme tersebut tidak pantas karena seakan-akan menjadikan guru sebagai sebuah komoditi yang bergantung pada mekanisme pasar.

Komisi X DPR: Wacana 'Marketplace' Guru Perlu Dikaji Ulang
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim (tengah) menyampaikan paparan dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (9/6/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.

tirto.id - Anggota Komisi X DPR RI Ratih Megasari Singkarru meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengkaji ulang wacana perekrutan guru dengan model marketplace.

“Dari namanya saja, marketplace, kita sudah merasa bahwa ini tidak pantas karena seakan-akan menjadikan guru itu sebagai sebuah komoditi yang semuanya bergantung pada mekanisme pasar,” kata Ratih di Jakarta, Rabu (14/6/2023)

Politisi Fraksi Partai Nasional Demokrat (F-Nasdem) itu menekankan bahwa kesejahteraan guru honorer, persebaran guru, hingga perekrutan guru PPPK perlu diselesaikan secara tuntas terlebih dahulu oleh Kemendikbudristek.

Padahal, kata Ratih, negara sudah mempunyai mekanisme melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN) atau Badan Kepegawaian Daerah (BKD) bisa diberdayakan untuk mengisi kekosongan guru di Indonesia.

Jika kendala ada pada perekrutan yang hanya dilakukan setahun sekali, ia berharap pemerintah memperbaiki arus informasi antara kebutuhan sekolah dan badan kepegawaian, sehingga perekrutan serta penempatan guru dapat dilaksanakan dengan lebih fleksibel.

“Dengan demikian, begitu ada guru pindah atau pensiun yang posisinya menjadi kosong, badan tersebut bisa langsung melakukan redistribusi atau menempatkan guru," imbuh Ratna.

Ratna menyatakan bahwa ia memahami mekanisme perekrutan melalui marketplace berfungsi memangkas birokrasi seleksi guru. Namun, menurutnya hal itu baru dalam tingkat gagasan saja, kendala dan risiko banyak muncul di benak para guru.

“Perlu dipertimbangkan apakah kewenangan perekrutan guru melalui marketplace ini benar-benar ada di tangan kepala sekolah. Bagaimana risiko terjadinya nepotisme, atau bahkan pungli terkait hal tersebut,” ungkap Ratih.

Ratna juga khawatir jika 'marketplace' akan melahirkan persaingan tidak sehat dan tidak berkeadilan antarsekolah maupun antarguru.

Mekanisme pasar, jelas Ratna, akan membuat sekolah yang memiliki anggaran besar dapat dengan leluasa memilih guru, namun tidak dengan sekolah dengan anggaran kecil.

“Malahan, bisa jadi para guru ini nanti terpaksa harus beli jasa SEO (Search Engine Optimization) supaya nama mereka muncul paling atas di setiap pencarian guru oleh sekolah pada platform marketplace tersebut,” jelas Ratna.

Ia meminta pemerintah agar lebih peka dengan kondisi di lapangan. Masih banyak guru di Indonesia yang memiliki tantangan untuk mengakses beragam platform digital pemerintah.

Ratna menambahkan, tidak semua guru terutama di daerah terpencil memiliki perangkat teknologi seperti gawai atau laptop.

Ratna menyampaikan, ada masalah lain yang perlu diselesaikan terlebih dulu yaitu nasib guru honorer P1 (prioritas pertama) yang berjumlah sekitar 64 ribu.

Mereka harus diprioritaskan terlebih dulu oleh pemerintah untuk segera dituntaskan dan mendapatkan kepastian.

“Kami yakin mereka tidak ingin persoalan P1 menjadi tenggelam dengan munculnya program baru seperti marketplace yang akan diluncurkan dalam waktu cepat dan terkesan sangat terburu-buru atau memaksakan,” pungkas Ratna.

Akhir Mei lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim mengusulkan pembentukan wadah menyerupai marketplace untuk guru. Rencana ini ia klaim dapat menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia.

Baca juga artikel terkait MARKETPLACE GURU atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri