tirto.id - Anggota Komisi VIII Umar Bashor meminta agar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang bisa lebih memerhatikan masalah asisten rumah tangga atau pekerja rumah tangga (PRT) yang akrab disebut pembantu.
"Tentang nasib para perempuan yang menjadi asisten rumah tangga atau pembantu rumah tangga. Mereka mendapat gaji yang minim sekali dan seringkali mendapatkan kekerasan dari majikannya," kata Umar dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR, Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Rabu (13/11/2019).
"Saya mohon menteri ini bisa melihat masalah ini, dan bisa membuat aturan untuk ini," imbuhnya.
Umar pun meminta agar Bintang bisa berkoordinasi dengan menteri lainnya, khususnya Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, untuk menuntaskan masalah PRT.
"Koordinasi dengan Menteri Tenaga Kerja atau BUMN agar mereka bisa diberdayakan atau hak-hak mereka untuk mendapatkan gaji sesuai ketentuan atau sesuai UMR dapat dilakukan," minta Umar.
"Saya juga mengingatkan pada ibu-ibu yang ada di sini, bahas mereka, ibu-ibu yang perlu mendapatkan perhatian dari kita semua," tambahnya.
Mananggapi itu, Bintang menyampaikan akan berkomunikasi dengan Ida selaku Menteri Ketenagakerjaan.
"Iya, nanti akan kami komunikasikan [dengan Kementerian Ketenagakerjaan]. Pasti. Kalau berkaitan dengan tenaga kerja, secara informal, kami sudah dapat berbicara dengan ibu menteri tenaga kerja," ujar Bintang.
"Bukan soal prt saja yang mayoritas adalah perempuan, bagaimana menurunkan pekerja anak ini, yang menjadi arahan pak presiden, ini akan kami komunikasikan dengan Kemenaker," lanjutnya.
Dalam kesempatan berbeda, Lita Anggraeni, Koordinator Nasional Jala PRT menjelaskan bahwa tidak adanya perlindungan terhadap PRT memiliki implikasi ke sejumlah hak-hak dilanggar.
Lita memaparkan rata-rata PRT mendapatkan gaji 20-30 persen di bawah UMR. Di Semarang, rata-rata gaji perbulannya adalah Rp600 ribu, Makassar sekitar Rp600-700 ribu, di Medan sekitar Rp500-600 ribu, di Lampung sekitar Rp400-500 ribu, serta di Yogyakarta berkisar Rp700 ribu.
Ia pun menyampaikan bahwa mayoritas PRT tidak mendapatkan asuransi sosial, seperti kesehatan dan pekerjaan, serta tidak memiliki batasan jam kerja. Seluruhnya, bergantung pada perjanjian dengan majikannya.
"Nah, itu semua kan belum ada aturan yang mengikat, sehingga yang banyak terjadi, muncul relasi yang tidak seimbang antara majikan dan pekerja. Akhirnya, pekerja bekerja dalam kondisi yang tidak layak," kata Lita kepada reporter Tirto, Jumat (30/8/2019) lalu.
Dalam catatan Jala PRT, terdapat setidaknya 4,2 juta PRT di Indonesia. Sekitar 40 persen di antaranya bekerja untuk merawat dan mengasuh anak.
"Nah, tapi situasi kerjanya, mereka belum mendapatkan perlindungan. Tidak ada kejelasan kerja yang diatur oleh pemerintah," ujar Lita.
"Sehingga, ada ada jam kerja yang panjang, tidak mendapatkan libur mingguan, kemudian tidak ada jaminan sosial, tak ada lembur, tak ada jam istirahat, serta tidak ada standar dalam upahnya. Terdapat pula, tak ada standar keterampilan," jelasnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Gilang Ramadhan