Menuju konten utama

May Day: PRT & Buruh Perempuan Tolak Kebijakan 'No Work, No Pay'

PRT dan buruh perempuan mendorong DPR RI dan pemerintah untuk menyelesaikan pembahasan RUU PPRT usai lebaran.

May Day: PRT & Buruh Perempuan Tolak Kebijakan 'No Work, No Pay'
Sejumlah pengunjuk rasa dari Pekerja Rumah Tangga (PRT) menari bersama saat melakukan Aksi Tenda Perempuan di depan Gerbang DPR RI, Senayan, Jakarta, Sabtu (11/3/2023). ANTARA FOTO/Prabanndaru Wahyuaji/foc.

tirto.id - Para Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan buruh perempuan melakukan aksi Hari Buruh atau May Day 2023 di Bundaran Hotel Indonesia dan berjalan menuju kawasan Patung Kuda, Silang Monas, Jakarta Pusat.

Massa membawa ember warna-warni dan gunting. Ember merupakan simbolisasi kerja-kerja PRT, sedangkan gunting merupakan penolakan terhadap pemotongan upah buruh perempuan yang membuat pemiskinan buruh perempuan

Aksi ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan mendalam yang dialami para buruh perempuan dan PRT. Mereka pun masih menunggu pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dirampungkan DPR RI.

Di tengah apresiasi terhadap pemerintah yang baru menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), para PRT mendorong DIM untuk dibawa ke rapat paripurna dan dibahas oleh parlemen. Pembahasan ini seharusnya selesai setelah Lebaran.

"Aksi hari ini sebagai pengingat bahwa perjuangan RUU PRT harus dituntaskan usai May Day hari ini," kata Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini, dalam keterangan tertulis, Senin (1/5/2023).

Meski di tengah hiruk-pikuk isu pemilu dan pencalonan presiden, Lita mendorong pemerintah dan DPR tetap konsisten untuk membahas RU PPRT setelah lebaran usai.

Hari Buruh merupakan momentum untuk mendorong RUU PPRT dibahas hingga tuntas, mengingatkan bahwa masih banyak isu marjinal seperti PRT dan buruh yang harus diperjuangkan.

Kondisi lain dialami para buruh yang sedang berjuang untuk menolak "No Work, No Pay" yang dinyatakan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Si Menteri menyatakan bahwa untuk meminimalisir PHK, maka perusahaan boleh menerapkan "No Work, No Pay" bagi para buruh.

Kebijakan ini sangat merugikan para buruh, terlebih buruh perempuan karena pengusaha bisa dengan sewenang-wenang menyatakan tidak akan menggaji buruh dengan kondisi tertentu seperti sedang cuti kehamilan, cuti haid, sakit, dan lain-lain.

Pasal dalam UU Ketenagakerjaan ini sangat simplifikasi dan bisa disalahartikan yang berujung pada kesewenang-wenangan.

Pengurus Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati mengatakan pihaknya mendata ada ratusan buruh perempuan garmen yang terpuruk dari aturan "No Work, No Pay", ada buruh perempuan yang hanya dipekerjakan sesaat dengan dalih tersebut.

"Ini seperti jadi pasal karet yang mematikan hak buruh perempuan untuk bekerja. Padahal ada pasal yang mengizinkan cuti haid, cuti melahirkan, sakit, izin dan lainnya, yang dilanggar pengusaha dan merugikan buruh perempuan," ujar Vivi.

Baca juga artikel terkait HARI BURUH 2023 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto