Menuju konten utama

Komisi VI Mempertanyakan Keterlibatan BUMN di Korupsi e-KTP

Komisi VI DPR RI mempertanyakan dugaan keterlibatan sejumlah BUMN di korupsi e-KTP, baik dalam konteks persekongkolan membuat lelang abal-abal hingga adanya aliran duit rasuah ke perusahaan-perusahaan plat merah itu. 

Komisi VI Mempertanyakan Keterlibatan BUMN di Korupsi e-KTP
Sejumlah Jaksa Penuntut Umum KPK membawa berkas perkara kasus dugaan korupsi proyek E-KTP ke dalam gedung pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (1/3/2017). Berkas perkara kasus E-KTP dengan total 24 ribu halaman tersebut milik dua terdakwa, mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Wakil Ketua Komisi VI, Inas Nasrullah Zubir mengaku kaget dengan masuknya sejumlah nama BUMN dalam dakwaan korupsi e-KTP untuk terdakwa Irman dan Sugiharto.

Politikus Partai Hanura itu mempertanyakan status uang yang mengalir ke sejumlah BUMN di kasus tersebut sebagai keuntungan perusahaan atau lainnya. Makanya, Inas ingin mengetahui kemana sebenarnya uang tersebut mengalir, ke perusahaan atau individu.

"Di sana ada pendapatan, BUMN ada pendapatan kan harus jelas juga sebagai pendapatan atau diterima orang-orang BUMN. Ini kan nggak jelas," kata Inas saat dihubungi Tirto, pada Jumat (10/3/2017).

Menurut Inas, BUMN seharusnya tidak masalah apabila menerima aliran dana dalam bentuk pendapatan di pengerjaan proyek pemerintah. Selain itu, Inas mengimbuhkan, bila BUMN menerima aliran dana korupsi semestinya terdeteksi audit rutin BPK.

Inas juga mempertanyakan ihwal informasi tentang adanya dua konsorsium yang diduga sebagai peserta boneka dalam lelang e-KTP demi memastikan kemenangan Konsorsium PNRI. Tiga BUMN, yaitu Perum PNRI, PT LEN Industri dan PT Sucofindo bersama dua perusahaan swasta lainnya tergabung di konsorsium pemenang tender proyek e-KTP itu.

Pria yang maju lewat Dapil III Banten ini menuturkan bahwa BUMN memang boleh membentuk konsorsium untuk ikut lelang tender proyek. Inas mencontohkan Pertamina dengan sejumlah perusahaan swasta pernah membentuk konsorsium serupa dalam sejumlah tender lelang proyek di beberapa daerah.

Akan tetapi, menurut dia, BUMN tidak boleh berperan serta dalam pembentukan dua konsorsium di satu tender yang sama. Apabila terjadi, BUMN sudah melanggar ketentuan tender dan perundang-undangan.

"Kalau kita mau diusut-usut bisa saja melanggar undang-undang KPPU. Kan bisa UU KPPU juga persaingan tidak sehat. Membentuk berbagai konsorsium di tender yang sama," kata Inas.

Meskipun menjelaskan sedemikian rupa tentang BUMN, Inas enggan membenarkan kesimpulan bahwa kasus e-KTP sebagai korupsi terstruktur. Ia mengaku perlu menghimpun informasi lebih lanjut agar memahami betul seluk-beluk masalah kasus ini.

Komisi VI, menurut Inas, berencana untuk memanggil BUMN-BUMN yang tersangkut kasus e-KTP serta menteri BUMN, Rini Soemarno. Ia mengaku, Komisi VI akan memanggil setelah masa reses berakhir. "Setelah reses nanti kami minta klarifikasi."

Berdasarkan surat dakwaan Jaksa KPK untuk Irman dan Sugiharto di kasus korupsi e-KTP, sejumlah BUMN disebut ikut terlibat sekaligus menerima aliran dana rasuah. Dakwaan itu juga menyimpulkan ada bukti mengenai persekongkolan antara pejabat Kemendagri, sejumlah BUMN dan pihak swasta untuk membuat lelang abal-abal di tender proyek pengadaan e-KTP.

Di kasus ini pemenang tender, Manajemen bersama Konsorsium PNRI menerima duit rasuah senilai Rp137,98 miliar. Tiga BUMN, yakni Perum PNRI menerima Rp107,71 miliar, PT LEN Industri Rp20,92 miliar dan PT Sucofindo Rp8,23 miliar.

Sedangkan Kriminolog Universitas Indonesia, Thomas Sunaryo mengaku tidak heran dengan dugaan keterlibatan BUMN dalam kasus korupsi e-KTP. Selama ini, menurut dia, pola tender seperti di proyek e-KTP kerap terjadi di sejumlah kasus korupsi lainnya. Menurut Thomas, hal ini sudah menjadi rahasia umum.

"Tender itu juga bisa dipermainkan. Itu kan yang formal harus fair, tapi kan bisa saja terjadi pura-pura dimenangkan tendernya tetapi di situ ada ya katakanlah suap juga gitu," kata Thomas.

Menurut Thomas pola korupsi berjamaah seperti terjadi di kasus e-KTP juga bisa dimasukkan dalam kategori kejahatan negara karena melibatkan banyak pelaku dari lintas institusi.

"Kejahatan negara dalam arti bisa legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pelaku-pelaku itu kan bisa jamaah bisa juga sebagai kejahatan negara," kata dia.

Ia berpendapat masyarakat sipil dan aktivis antikorupsi perlu memberikan dukungan penuh ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar konsisten untuk membongkar sampai tuntas skandal korupsi e-KTP ini.

Pengusutan kasus ini memberikan tantangan berat bagi KPK mengingat ada dugaan kuat para pelakunya merupakan tokoh penting di legislatif dan eksekutif. Apalagi ada puluhan anggota DPR RI yang masih aktif maupun tidak ikut kecipratan suap di kasus ini.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom