tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap penggunaan sejumlah kode sandi dalam praktik suap yang melibatkan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro dan Bupati Kabupaten Bekasi Neneng Hasanah Yasin terkait perizinan proyek Meikarta.
Awalnya, dalam keterangan pers yang disampaikan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, pada 15 Oktober lalu diketahui kode sandi yang digunakan dalam proyek ini antara lain: Melvin, Tina Toon, Windu, dan Penyanyi. Belakangan terungkap juga kode lainnya, seperti Susi dan Babe.
"Penggunaan sejumlah sandi dalam kasus ini untuk menyamarkan nama-nama para pejabat di Pemkab Bekasi," kata Laode, di Jakarta, pada Senin, 15 Oktober 2018.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah kemudian menyampaikan KPK sudah berhasil membongkar seluruh kode yang dimaksud. Misalnya "Tina Toon" yang ternyata adalah pejabat di Pemerintah Kabupaten Bekasi setara kepala bidang atau kepala seksi.
Dugaan itu mengarah kepada Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi Nurlaili yang sempat kabur saat hendak ditangkap KPK, Ahad, 14 Oktober 2018. Komisi antirasuah kemudian menetapkan Neneng sebagai tersangka keesokan harinya.
Kode lainnya yang telah terungkap adalah "Babe". Febri menyebut kode itu merujuk pada pemberi suap dalam kasus perizinan Meikarta ini. Nama yang dicurigai adalah Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro.
Dugaan tersebut menguat karena kode "Babe" disebut-sebut ketika pejabat Pemkab Bekasi meminta uang ke salah seorang anak buah Billy Sindoro dengan mengatakan ia akan mengkomunikasikannya pada "Babe".
Meski demikian, Febri enggan membenarkan hal tersebut. Ia menyatakan masih terbuka kemungkinan ditemukannya kode-kode lain. "Nanti akan terbuka semua di persidangan," kata Febri kepada reporter Tirto, Selasa (23/10/2018).
Suap Terencana
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto menduga suap yang dilakukan petinggi Lippo Group kepada sejumlah pejabat Pemkab Bekasi terkait izin proyek Meikarta dilakukan secara terorganisir dan telah direncanakan sejak lama.
Agus menuturkan, kode-kode itu pasti telah disepakati para pelaku sebelum digunakan. Menurut dia, para pelaku yang terlibat dalam kasus ini pasti sudah memperhitungkan kalau komunikasi mereka rentan disadap. Karena itu, sejumlah kode digunakan untuk menyamarkan identitas mereka.
"Walaupun sering ketahuan, tapi patutlah untuk dicoba oleh mereka, paling tidak mereka mencoba supaya tidak langsung ketahuan saya ini bupati, saya ini kepala dinas, saya ini bos Meikarta," kata Agus kepada reporter Tirto.
Penggunaan kode dalam kasus korupsi memang sudah menjadi hal yang lumrah. Ini juga terjadi dalam sejumlah kasus lain, seperti penggunaan kode "Apel Malang" dan "Apel Washington" oleh eks Wakil Sekjen Partai Demokrat Angelina Sondakh dan Direktur Pemasaran PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang dalam kasus suap proyek Wisma Atlet Jakabaring.
Saat itu, "Apel Malang" merujuk pada uang dalam mata uang rupiah, sementara "Apel Washington" berarti uang dalam mata uang dolar.
"Dalam kasus korupsi yang besar, bukan korupsi kecil, itu pasti sudah direncanakan dengan matang," kata Agus.
Selain itu, kata Agus, keterlibatan sejumlah kepala dinas dalam kasus ini juga mengindikasikan kalau korupsi ini terstruktur. Laode sendiri dalam keterangan persnya mengungkap kalau suap dari Billy Sindoro dialirkan melalui sejumlah kepala dinas.
Kompleksitas ini terjadi karena proyek yang hendak diurus perizinannya ternyata sangat kompleks, mulai dari apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hingga sarana pendidikan. Hal ini berimbas pada perizinan yang lintas dinas mulai dari Amdal, rekomendasi penanggulangan kebakaran, banjir, tempat sampah hingga lahan makam.
"Ini menunjukkan sebenarnya sudah ada indikasi sepertinya sudah terorganisir antara bupati dengan kepala dinas sudah sepakat mungkin 'ayo kita melakukan ini metodenya seperti ini'," kata Agus.
Hal senada diungkapkan pegiat antikorupsi sekaligus peneliti hukum dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari. Ia memandang penggunaan kode-kode dalam suap Meikarta menegaskan kalau aksi ini memang sudah terencana.
"Sehingga memperjelas adanya mens rea [niat jahat]" kata Feri kepada reporter Tirto, Selasa malam (23/10/2018).
Menurut Feri, selama ini kode dan sandi digunakan untuk mengelabui penegak hukum dan lazim dilakukan dalam kejahatan terencana. Namun demikian, ia enggan menduga kalau suap yang melibatkan petinggi Lippo Group dan bupati dan sejumlah pejabat di Kabupaten Bekasi itu telah berlangsung pada proyek-proyek lainnya.
"Itu tidak bisa diduga, harus pembuktian peradilan," kata Feri.
Reporter Tirto telah menghubungi Direktur Komunikasi Publik Lippo Group Danang Kemayan Jati melalui telepon dan pesan WhatsApp. Danang sempat menjawab telepon, namun ia minta dihubungi kembali beberapa saat kemudian. Saat dihubungi kembali, Danang tak mengangkat dan malah menolak sambungan telepon reporter Tirto. Danang juga tidak merespons hingga artikel ini ditulis.
Sementara Denny Indrayana selaku kuasa hukum dari PT Mahkota Sentosa Utama (PT MSU), anak perusahaan Lippo Group yang menangani proyek Mekarta mengatakan, dirinya adalah penasihat hukum untuk non-litigasinya.
"Saya bukan lawyer untuk perkara litigasi atau korupsi/suapnya di KPK. Jadi soal kasus suap di KPK silakan tanyakan ke tim lawyer-nya yang lain. Dari saya, kalau soal suap di KPK, intinya terus bekerja sama penuh dengan KPK," kata Denny kepada reporter Tirto, Rabu (24/10/2018).
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz