tirto.id - Di era Perang Kemerdekaan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, masih disebut daerah Sunda Kecil. Pada November 1946, pasukan pro Republik yang dipimpin Kelapa TKR Divisi Sunda Kecil I Gusti Ngurah Rai bertempur habis-habis melawan Belanda yang dikenal sebagai Puputan Margarana. Setelah pertempuran itu Belanda mendirikan Negara Indonesia Timur yang berpusat di Makassar dan Sunda Kecil termasuk ke dalam wilayahnya.
Setelah Negara Indonesia Timur bubar pada 1950, tentara Indonesia dalam Ekspedisi Indonesia Timur pimpinan Alex Kawilarang masuk ke wilayah ini. Pasukan ini kemudian berkembang menjadi Tentara dan Teritorium Wirabuana yang berpusat di Makassar.
Di wilayah Sunda Kecil kemudian dibentuk Komando Pasukan (Kompas) Sunda Kecil yang namanya berganti menjadi Kompas C. Pasukan ini berganti nama lagi menjadi Resimen Infanteri ke-26 Wirabuana.
Dari tahun 1951 hingga 1956, menurut catatan Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik (2005:352), resimen ini dipimpin Letnan Kolonel Ibnu Subroto sebelum akhirnya digantikan oleh Letnan Kolonel Minggu.
Letkol Minggu, kata Nugoroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya (1985:99) adalah mantan sersan artileri KNIL yang ikut bertempur melawan Sekutu pada 10 November 1945 dan memimpin batalion artileri Gajah Mada di Jawa Timur.
Ketika Permesta melakukan perlawanan kepada pemerintah pusat, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution memperbarui komposisi pasukan di Indonesia timur. Malah menurutnya dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Masa Pancaroba Kedua (1984:102), sejak Maret 1957 dirinya sudah merencanakan memecah komando Tentara dan Teritorium VII ke dalam empat Kodam dengan dikoordinasikan lewat Komando Antar Daerah Indonesia Timur (KADIT).
Resimen ke-26 yang dipimpin Minggu menjadi unsur penting Kodam yang awalnya bernama Komando Daerah Militer Nusa Tenggara (KDM-NT). Tahun 1959, namanya berubah menjadi Kodam Raksabuana. Dan setahun berikutnya berubah lagi menjadi Kodam Udayana yang berpusat di Denpasar, Bali. Pangkat para Panglima Kodam di seluruh Indonesia mula-mula Letnan Kolonel, kemudian Kolonel, lalu Brigadir Jenderal, dan kini harus seorang Mayor Jenderal.
Setelah G30S, Bali yang merupakan salah satu wilayah teritorial Kodam Udayana menjadi daerah pertumpahan darah. Kala itu, Kodam Udayana dipimpin Brigadir Jenderal Sjafiuddin yang dicap Sukarnois. Menurut Geoffrey Robinson, sepanjang Oktober 1965 Sjafiuddin memilih diam. Sebulan kemudian ia baru mengutuk PKI dan melakukan "pembersihan" anggota dan simpatisannya di Bali.
Setelah Sjafiuddin diangkat menjadi Panglima Kopkamtib Daerah, perwira RPKAD Mayor Djasmin diterjunkan untuk menghabisi komunis di Bali. Pada masa itu, Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja yang dicap Sukarnois dituduh PKI dan hilang tanpa kabar sekitar tahun 1966.
Tak hanya Bali, di Nusa Tenggara Timur pun pembantaian kepada orang komunis terjadi. Gerry van Klinken dalam The Making of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota Kupang 1930an-1980an (2015:291) menyebut pemimpin PKI ditangkapi oleh kelompok anti-komunis macam KAMI dan KAPI yang dibeking tentara. Orang-orang komunis itu kemudian dihabisi antara Januari hingga April 1966.
Kepemimpinan Brigadir Jenderal Sjafiuddin digantikan oleh Brigadir Jenderal Soekartidjo pada tahun 1966. Lalu pada 1970 Soekartidjo menjadi Pangdam di Kalimantan Timur. Sementara Sjafiuddin tak terdengar lagi kabarnya.
Timor Timur - Timor Leste
Era Orde Baru, wilayah teritorial Kodam Udayana kembali menjadi medan berdarah menjelang integrasi Timor Timur. Wilayah ini semula bernama Timor Portugal yang hendak merdeka. Namun, karena terdapat kelompok komunis, maka Orde Baru mencoba menggagalkan kemerdekaan itu dan menjadikannya sebagai bagian dari Indonesia.
Sejumlah operasi militer kemudian digelar, di antaranya Operasi Komodo, Operasi Flamboyan, dan Operasi Seroja. Beberapa operasi ini tentu saja membuat Kodam Udayana sangat sibuk. Saat itu, Komando Rayon Militer (Koramil) Atapupu--kota kecil di perbatasan Timor Barat dan Timor Timur--dipimpin oleh perwira muda Letnan Kiki Syahnakri, lulusan Akabri 1971. Koramil Atapupu berada di bawah Komando Distrik Militer (Kodim) Atambua.
Sebelum Operasi Seroja digelar yang melibatkan pasukan besar, sebagaimana dicatat Kiki Syahnakri dalam Timor Timur: The Untold Story (2012:28), Kodim Atambua mendapat perintah dari Panglima Kodam Udayana untuk menyediakan daerah persiapan penyerbuan.
Tahun 1976 sampai 1978, Kodam Udayana dipinpim Brigadir Jenderal Soeweno--suami Inten Soweno yang pernah menjadi Menteri Sosial di era Orde Baru. Setelah itu diganti oleh Brigadir Jenderal Dading Kalbuadi yang berperan penting dalam Operasi Seroja. Keduanya, juga Sintong Panjaitan yang jadi Pangdam Udaya dari 1988 sampai 1992, adalah kolega lawas Jenderal Benny Moerdani. Peristiwa Santa Cruz di Dili pada 1991 kemudian membuat karier militer Sintong berantakan.
“Dia dianggap orangnya Moerdani karena Panglima ABRI Benny Moerdani memang mempersiapkan Sintong (lulusan Akademi Militer Nasional 1963) menduduki jabatan KSAD,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016:154).
Pangdam Udayana terakhir yang wilayah teritorialnya hingga Timor Timur adalah Mayor Jenderal Wiliam T da Costa. Setelahnya, Timor Timur merdeka dari Indonesia dan namanya menjadi Timor Leste.
Orang Bali pertama yang menjadi Pangdam Udaya adalah Wisnu Bawa Tenaya (perwira baret merah) yang menjabat dari Juni 2012 hingga Oktober 2014. Mundur sedikit, pada Juni 2008 hinggal April 2010, Pangdam Udaya adalah Hotmangaradja Panjaitan, putra D.I. Pandjaitan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi