tirto.id - “Ibu Pertiwi sedang menangis, Ibu Pertiwi sedang bersusah hati!” teriak orator mahasiswa dengan semangat meluap-luap.
Pidi Baiq (Jason Ranti) hanya menyaksikan kerumunan pendemo itu dari jauh. Tak lama, Nova (Danilla Riyadi) menghampirinya dan berkelakar.
“Dia teh lebih cinta Ibu Pertiwi daripada saya,” ujarnya dengan logat Sunda.
Pidi jengkel dengan kelakuan mahasiswa yang doyan demo. Menurutnya, urusan negara adalah urusan pemerintah, alias Presiden yang sudah menjabat puluhan tahun itu. Menurut Pidi, aksi demo mahasiswa juga rentan menimbulkan masalah, mulai dari bersitegang dengan pihak kepolisian, skorsing dari pihak kampus, hingga drop out (DO). Namun, di sisi lain, Pidi juga kesal dengan situasi sosial dan politik di sekitarnya.
Pidi akhirnya mengambil keputusan ekstrem. Bersama teman-temannya, Ninu (Ricky Harun), Erwin (David John Schaap), Dikdik (Miqdad Addausy), dan Deni (Bisma Karisma), mereka mendirikan sebuah "negara" baru di salah satu ruang kuliah kampus ITB: Negara Kesatuan Republik The Panasdalam atau NKRTPD.
The Panasdalam sendiri merupakan akronim dari: a-THE-is, PA-ganisme, NAS-rani, Hindu bu-DA, dan is-LAM. Secara filosofis menurut Pidi, semua orang di The Panasdalam boleh berbeda keyakinan, namun tetap satu dalam tujuan yang sama.
NKRTPD sendiri adalah ‘negara’ mini dengan luas wilayah 80 meter persegi. Penduduknya dikisahkan merasa kaya karena selalu melakukan segala urusan, termasuk jatuh cinta, di luar negeri: Indonesia. Pidi pun mengangkat dirinya sebagai imam besar The Panasdalam dan menunjuk Deni sebagai Presidennya.
Negara dalam film Koboy Kampus (2019) ini menimbulkan banyak sekali pertanyaan. Apa tujuan dibentuknya negara ini? Apakah akan jadi oposisi pemerintah? Saya berharap banyak hal yang bisa dijajaki dari sini. Namun, film ini lebih menyoroti tahun-tahun awal The Panasdalam, sebuah komunitas yang dibentuk untuk merespons kondisi sosial, yang hadir sebagai pelampiasan rasa kecewa terhadap “Bapak Presiden yang sudah semestinya berhenti menjabat”, tapi bingung menentukan arah.
Selain menceritakan terbentuknya grup musik The Panasdalam, Koboy Kampus disebut-sebut sebagai cerita masa kuliah Pidi Baiq bersama teman-temannya di Fakultas Seni Rupa ITB. “Koboy Kampus” adalah istilah bagi mahasiswa yang betah berlama-lama di kampus dan menunda kelulusan. Saat itu mahasiswa memang punya banyak waktu untuk main-main karena masa kadaluarsa kuliah bisa mencapai 14 semester atau tujuh tahun.
Dari Koboy ke Hippies
Sulit untuk tidak membandingkan spirit anak-anak muda di Koboy Kampus dengan gerakan budaya tanding (counter culture) yang berkembang di Amerika Serikat sekitar 1960-an. Kemunculan kelompok yang lantas disebut hippies ini disebabkan oleh Perang Vietnam, serta kejenuhan terhadap kondisi sosial, budaya, dan politik yang serba konservatif. Puncaknya, Summmer of Love terjadi pada 1967 dan ditutup dengan festival Woodstock dua tahun setelahnya.
Setidaknya itu mitos Amerika 1960-an yang kita ketahui.
Sayangnya terlalu banyak yang tidak kita akrabi dari dekade itu, termasuk dunia yang berjarak dari keriaan ala hippie. Pada 1962, sekumpulan mahasiswa berkumpul di Port Huron, Michigan, AS, untuk mendirikan organisasi bernama Students for Democratic Society (SDS). Manifestonya yang tersohor, The Port Huron Statement, dibuka dengan pengakuan betapa generasi mereka dibesarkan oleh kemakmuran Amerika pasca-Perang Dunia II, dan mereka “menatap gusar dunia yang [mereka] warisi”.
Bertahun-tahun setelah itu SDS berkembang pesat, dari memotori aksi-aksi protes anti-perang di jalanan hingga menginterupsi konvensi Partai Demokrat. Beberapa anggotanya yang paling militan bahkan keluar dari SDS, menyatakan perang terhadap imperialisme Amerika, rasisme kulit putih, serta seksisme; dan bersimpati pada negeri-negeri sosialis, bahkan membom gedung-gedung pemerintahan dan militer Paman Sam. Kelompok militan yang disebut Weather Underground ini bahkan digolongkan sebagai kelompok teroris dalam negeri.
Sebagian besarnya mengambil jalan protes damai, turun ke jalan bersama buruh (yang rawan dikirim ke Vietnam karena tak berstatus mahasiswa) dan orang-orang kulit hitam (yang diturunkan ke garis depan melawan Vietnam dan diperlakukan secara rasis ketika pulang ke tanah air), serta menolak apa yang diramalkan Dwight Eisenhower sebagai kebangkitan military industrial complex. Dari rahim aktivis inilah lahir orang-orang seperti Bernie Sanders di AS dan Jeremy Corbyn di Inggris.
Pada tahun-tahun yang sama, Indonesia berbelok ke arah yang berbeda. Wajar, mahasiswa Indonesia zaman itu sebagian besar berasal dari golongan elite. Salah satu tokohnya adalah Arief Budiman. Menurut Vedi Hadiz, Ian Chalmers, dan David Bourchier dalam Indonesian Politics and Society: A Reader (2003), Arief pernah menyamakan gerakan mahasiswa dengan tokoh utama sebuah film koboi berjudul Shane (1953).
Shane sang koboi dikisahkan harus turun gunung untuk menghabisi para penjahat. Setelah suasana kembali tenang, ia pulang ke rumahnya. Ia tak punya ambisi politik, dan tak haus kekuasaan. Sejak itu muncul mitos bahwa gerakan mahasiswa Indonesia adalah “gerakan moral” atau “agen perubahan”.
Namun koboi kampus dalam Koboy Kampus bukan aktivis gerakan moral ala Angkatan ’66. Mereka adalah spesies yang berbeda dari aktivis-aktivis semacam itu, tidak berangkat dari alasan gerakan moral atau keinginan untuk menjadi motor perubahan.
Tokoh-tokoh utama di Koboy Kampus digambarkan tengah mendobrak kejenuhan kampus dengan mendesak Himpunan Mahasiswa agar kembali mengadakan penyambutan terhadap mahasiswa baru. Mereka juga memprotes himpunan karena mengadakan program-program membosankan yang gagal meramaikan kampus.
Film yang disutradarai dan ditulis oleh Pidi Baiq dan Tubagus Deddy ini menampilkan pertentangan antara para koboi kampus dan gerakan mahasiswa arus utama. Para mahasiswa aktivis merasa terganggu dengan kehadiran The Panasdalam yang emoh turun ke jalan dan ikut aksi. Pertentangan keduanya dieksekusi dalam bentuk canda, ketika para aktivis tersebut beberapa kali gagal menemui Pidi dan anggota The Panasdalam lainnya.
Saya melihat Koboy Kampus sebagai ledekan untuk para aktivis mahasiswa yang duduk di menara gading. Turun ke jalan dengan jaket almamater, sekaligus menegaskan mereka berbeda dengan banyak elemen yang turun ke jalan.
Ini cukup berkebalikan dengan situasi di pengujung Orde Baru. Tak banyak aktivis kampus --terutama yang bergerak di bawah tanah-- yang mau mengenakan jaket almamater, mengingat jaket peneguh identitas ini terlalu berbahaya untuk dikenakan. Baru ketika gerakan mahasiswa makin besar, mereka tak lagi takut mengenakan jaket almamater.
Kelompok The Panasdalam mungkin punya banyak alasan untuk tidak mengikuti jejak aktivis berjaket almamater ini. Mereka memilih untuk bersikap politis dengan apolitis. Tapi tentu ada problem dalam pilihan itu. Bukan pada sikap apolitis yang diambil, tapi pada pemandangan ketika The Panasdalam memilih kembali menjadi bagian dari Indonesia ketika Soeharto lengser.
Orang bisa dengan mudah menyematkan label ‘oportunis’ akibat gambaran ini. Namun pilihan ini sekaligus bisa meneguhkan bahwa The Panasdalam bukannya anti terhadap Indonesia, melainkan anti pada Soeharto. Lagi-lagi, mereka menunjukkan cara melawan dengan sikap yang seolah-olah bercanda.
Editor: Nuran Wibisono