tirto.id - Tim gabungan TNI dan Polri mengklaim telah sukses "membebaskan" 344 warga non-Papua dari Kampung Kimbeli dan Banti, Distrik Tembagapura, dari "penyanderaan" yang dilakukan oleh kelompok yang diklaim aparat Indonesia sebagai "kriminal bersenjata" pada akhir pekan lalu.
"Pembebasan" ini oleh media-media Jakarta diberitakan secara dramatis. Seperti diberitakan Antara pada Sabtu akhir pekan lalu, Kepala Penerangan Daerah Militer XVII/Cenderawasih Kolonel Infanteri Muhammad Aidi mengatakan bahwa Kapolda Papua Boy Rafli Amar dan Pangdam Cenderawasih Mayjen TNI George Elnadus Supit nyaris tertembak ketika "operasi penyelamatan" tersebut berlangsung.
"Saat kegiatan evakuasi warga oleh tim gabungan TNI dan Polri, anggota kami masih diserang dengan tembakan oleh KKB dari jarak jauh dan ketinggian. Bahkan Bapak Kapolda dan Bapak Pangdam diberitakan hampir terkena," kata Aidi di Timika.
Aidi mengatakan proses penyelamatan ini "penuh risiko" sebab kelompok bersenjata terus saja "menghujani" aparat dan warga dengan tembakan dari jarak yang cukup jauh. "Kadang keselamatan diri diabaikan demi untuk menyelamatkan masyarakat," katanya.
Aidi mengatakan "operasi pembebasan" digelar sejak 12 November oleh 13 personel Kopassus, sebuah elite tempur militer Indonesia, dan 20 personel Batalyon 751/Raider, satuan pemukul dari Kodam Cenderawasih. Serdadu ini diterjunkan dengan "tugas spesifik" untuk "merebut Kampung Kimbeli."
Sementara Peleton Intai Tempur Kostrad bersama Yonif 754/Eme Neme Kangasi, di bawah satuan tempur infanteri yang bermarkas di Kota Timika, dengan masing-masing 10 personel, bertugas "merebut" Kampung Banti.
"Mereka bergerak dengan sangat senyap, sangat rahasia pada malam hari. Pada siang hari mereka mengendap ... Pasukan kita sudah berada di lokasi masing-masing satu hari sebelum jam yang disepakati untuk menyerbu, dan selama satu hari itu mereka tidak makan," klaim kepala penerangan Kodam Cenderawasih Kolonel Aidi.
Semula "penyergapan" bakal dilakukan pada Kamis, 16 November, menurut Kolonel Aidi. Namun, hal itu urung karena kelompok bersenjata diklaim "membaur dengan masyarakat." Barulah pada Jumat pagi tim bergerak. Ia mengatakan kelompok itu "kocar-kacir" ke hutan dan saat itulah "evakuasi" masyarakat segera dilakukan.
Saat penyerbuan itu, menurut Kolonel Aidi, jarak pandang hanya sekitar tiga sampai lima meter karena cuaca masih berkabut tebal.
Siapa warga yang "dibebaskan"?
Victor Yeimo, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB)—sebuah organisasi politik yang punya visi memerdekakan Papua—mengatakan pemberitaan soal pembebasan sandera ini hanya "rekayasa" untuk menutupi bisnis ilegal militer. Sandera-sandera ini juga hanya jadi objek rekayasa untuk melegitimasi operasi-operasi militer lain yang tujuannya untuk melindungi kepentingan Freeport.
Yeimo mengatakan kontak senjata yang diklaim terjadi ketika proses "pembebasan" sandera bohong belaka. Bunyi-bunyi itu, katanya, adalah bunyi tembakan anggota TNI/Polri sendiri. "Sama seperti film-film action Amerika Serikat," katanya.
Yeimo juga mengatakan soal status "ke-344 sandera", yang disebutnya sebagai "penambang ilegal" dan diizinkan berbisnis oleh TNI dan Polri. Sebagian hasil dari penambangan ini, klaimnya, digunakan untuk membayar upeti kepada militer.
Praktik penambangan dan upeti ilegal ini sudah terjadi setidaknya dalam 10 tahun terakhir, menurut Yeimo.
"Ini benar bahwa status 'sandera' sebagai penambang ilegal," kata Yeimo kepada Tirto, kemarin.
Ia menjelaskan, untuk masuk ke daerah tersebut, seseorang perlu melewati pos-pos penjagaan. Dan tidak sembarang orang bisa melewatinya. Meski begitu, kampung itu belum masuk ke dalam areal steril PT Freeport Indonesia. Areal steril dimulai dari Terminal Bus Gorong-Gorong di Mile 26 dengan panjang lebih dari 46 mil.
Franky Samperante, Direktur Pelaksana Yayasan Pusaka, lembaga nirlaba yang berfokus pada hak-hak masyarakat adat berbasis di Jakarta, mengatakan bila penduduk Kampung Banti dan Kimbeli, yang berada di Desa Waa, adalah sebagian besar memang pendatang.
Kebanyakan pemukimnya adalah pendatang dari Toraja (Sulawesi Selatan), Maluku Tenggara, dan Jawa. Sementara suku asli Papua, yakni Amungme, Mee, Kamoro, tergolong minoritas di sana.
Desa Waa sendiri berlokasi di atas 2.000 mdpl, dikelilingi bukit berbatu. "Di sana berkabut, sering hujan, dan longsor," katanya.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Fahri Salam